Program Studi Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Bangka Belitung
Jalan Kampus Terpadu Balunijuk, Bangka, 33172, Indonesia
E-mail : aliyaahputrii@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini mengkaji resistensi masyarakat Desa Batu Beriga terhadap
pertambangan laut di wilayah mereka. Fokus utama penelitian ini adalah
mengevaluasi dampak dari kegiatan pertambangan laut serta menelaah respons masyarakat terhadap kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Batu Beriga penolakan menolak terhadap aktivitas pertambangan laut, karena mereka khawatir akan dampaknya
terhadap mata pencaharian utama mereka sebagai nelayan. Penolakan ini tercermin dalam permintaan mereka kepada pemerintah untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP), serta menggantikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mendukung kesejahteraan masyarakat.
Kata kunci : Resistensi masyarakat, Pertambangan laut, Izin Usaha Pertambangan (IUP), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
PENDAHULUAN
Salah satu provinsi di Indonesia yang dianggap sebagai wilayah dengan
cadangan timah terbesar di dunia yaitu Bangka Belitung. Namun, berkembangnya industri pertambangan timah telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan sumber daya laut di daerah tersebut yang menyebabkan kerugian bagi nelayan lokal. Baik perusahaan besar maupun penambang kecil menggunakan
metode tradisional yang sering kali merusak ekosistem laut. Penambang skala kecil sering kali memanfaatkan bahan kimia berbahaya tanpa pengawasan yang memadai, yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada lingkungan dan mengancam kesehatan manusia. Sebagai konsekuensinya, sumber utama
pendapatan masyarakat lokal sangat bergantung terhadap laut. Namun, penggalian timah yang tidak terkendali telah menimbulkan kerusakan pada terumbu karang dan jumlah biota laut, menyebabkan penurunan hasil tangkapan yang didapat oleh
nelayan.. (Hariansah, & Suganda, 2023)
Sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bangka adalah
penambangan timah. Pulau Bangka terkenal kaya akan sumber daya alam, terutama timah. Pendapatan daerah Kabupaten Bangka mencapai target sekitar 1 triliun 164 miliar pada tahun 2015, dengan realisasi sekitar 1 triliun 73 miliar, atau 92,53% dari target. Pendapatan Asli Daerah, yang mencapai sekitar Rp 129 miliar 295 juta,
atau 94,52% dari target Rp 136 miliar 797 juta, merupakan salah satu sumber
pendapatan tersebut. Selain itu, pajak daerah, retribusi daerah, dan sumber
pendapatan lainnya adalah sumber pendapatan lainnya. PT Timah, perusahaan smelter, dan kapal isap memberikan hibah juga merupakan bagian dari pendapatan asli daerah. (Rismika & Purnomo, 2019).
Menurut Wahyuni & Sasongko dalam (Rismika & Purnomo, 2019),
eksplorasi timah bisa dilakukan di darat atau di perairan. Pada awalnya,
penambangan timah lebih umum dilakukan di darat. Karena semakin berkurangnya cadangan timah di darat, perhatian industri penambangan beralih ke laut. Dari adanya aktivitas pertambangan, memberikan dampak terhadap lingkungan. Dampak positif dari pertambangan timah termasuk terciptanya lapangan kerja yang
dapat mengurangi tingkat pengangguran dan memperbaiki kondisi ekonomi
masyarakat setempat. Selain itu, pemerintah juga akan mendapatkan pendapatan tambahan melalui penerimaan pajak dari pengelolaan sumber daya alam tersebut.
Sisi Negatif dari adanya penambangan yaitu kerusakan lingkungan, potensi konflik dengan masyarakat lokal dan degredasi ekosistem laut.
Eksploitasi timah di wilayah perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
tetap menjadi topik perdebatan yang hangat karena perbedaan pendapat.
Masyarakat secara konsisten menentang kegiatan penambangan timah di laut,
seperti yang sedang terjadi di Kabupaten Bangka Tengah. Salah satu bentuk protes
yang mencolok adalah penolakan terhadap tambang laut di Desa Batu Beriga.
Tindakan penolakan ini, dilaporkan oleh beberapa media, menunjukkan keseriusan dan kekompakan masyarakat dalam menolak kegiatan pertambangan di wilayah perairan mereka. Walaupun begitu, peristiwa penolakan tersebut berlangsung dengan damai tanpa kekerasan atau perilaku anarkis (Nugraha, 2023).
Masyarakat Desa Batu Beriga merupakan pihak yang menolak adanya
penambangan di laut. Mereka adalah penduduk desa yang terkena dampak
langsung dari adanya rencana tambang laut. Masyarakat menentang keras dari
adanya penambangan laut di wilayah mereka. Aksi mereka dilakukan saat PT
Timah melakukan sosialisasi rencana operasional Ponton Isap Produksi (PIP) di wilayah mereka. Sosialisasi yang dilakukan oleh PT Timah mengenai rencana operasional PIP di Kawasan Batu Beriga tidak berjalan dengan lancar karena mendapat tantangan dari semua warga. (Mahendra, Arya Bima.2023)
Masyarakat Batu Beriga merupakan masyarakat pesisir yang mata
pencahariannya bergantung pada hasil laut dan sebagian besar masyarakatnya
adalah nelayan. Alasan warga desa Batu Beriga menolak penambangan laut
karena laut merupakan tempat mata pencaharian masyarakat setempat, baik sebagai nelayan maupun sebagai pembeli hasil ikan, dan hasil yang diperoleh kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya pendidikan. Seluruh
warga menyuarakan aspirasi dari penolakan adanya penambangan laut tersebut dengan berbagai alasan. Salah satunya karena sebagian besar masyarakat Beriga adalah nelayan dan hal ini sudah lama menjadi ciri budaya masyarakat Batu Beriga.
Bagi mereka, laut adalah warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan agar nanti para keturunananya bisa merasakan laut di Batu Beriga. Jika ponton hisap produksi masuk dan menyebar di perairan Pantai Batu Beriga, maka kondisi
lautnya akan menjadi berbeda dari sebelumnya dan lama kelamaan akan rusak. Pertambangan laut yang akan menguasai laut di Batu Beriga dapat merusak adat istiadat masyarakatnya. Adat istiadat yang dijaga dari tahun ke tahun tidak bisa hilang hanya karena aktivitas ekploitasi laut tersebut. Sebab itu, mereka dengan tegas menolak aktivitas penambangan di daerah pesisir serta menuntut PT.Timah mengahapus IUP di Desa Batu Beriga. Penolakan masyarakat tersebut ditunjukkan
dengan menggelar deklarasi perdamaian dengan menandatangani spanduk sebagai aksi nyata menyikapi penolakan tersebut. Pernyataan tersebut merupakan inisiatif masyarakat Desa Batu Beriga ketika merasa resah dengan kabar diberikannya IUPpertambangan lepas pantai di desa tersebut kepada PT Timah.
Selain meminta tanggapan dan tanggung jawab dari pemerintah terhadap
pertambangan ilegal, masyarakat juga menyampaikan kekhawatiran atas dampak ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkan dari adanya korupsi tata niaga timah. Muhamad Nafiah, seorang warga desa Batu Beriga, menyatakan bahwa pertambangan ilegal telah merugikan mata pencaharian mereka sebagai nelayan sehingga mengancam penghasilan keluarga, dan memicu kekhawatiran akan kelangsungan hidup. Selain itu, kecurigaan juga muncul dengan adanya kolusi antara pengusaha dan penguasa, yang diduga menjadi pendorong utama korupsi dalam industri pertambangan. (Kartini, 2024).
Jumiah, seorang ibu rumah tangga, menegaskan meskipun mereka sangat
tergantung pada penambangan timah sebagai sumber pendapatan, mereka
menentang penambangan ilegal yang dilakukan tanpa persetujuan warga dan
menuntut kejelasan serta penyelesaian yang cepat terhadap masalah ini. Melalui
partisipasinya dalam aksi Hari Bumi, Jumiah dan masyarakat lainnya berusaha untuk menyuarakan keprihatinan mereka terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pertambangan ilegal dan korupsi dalam industri pertambangan. (Kartini, 2024).
PENELITIAN TERDAHULU
Beberapa studi yang relevan dengan dampak penambangan timah di laut
oleh Dewi dkk (2021) dengan judul “Analisis Dampak Penambangan Timah di Laut terhadap Ekosistem Laut dan Pendapatan Nelayan Desa Tanjung Binga”, Regus, M (2011) yang berjudul “Tambang dan Perlawanan Rakyat: Studi Kasus Tambang di Manggarai, NTT” dan Noviyanti Manik dan Jeanne Darc (2014) yang berjudul “Kebijakan Pertambangan Laut Timah yang Berdampak pada Lingkungan”.
Penelitian Dewi dkk (2021) menunjukkan bahwa nilai ekonomi dari perikanan tangkap di Desa Tanjung Binga, Kabupaten Belitung pada tahun 2019
mencapai Rp 5.408.296.184.045,63 per tahun. Selain itu, hasil wawancara dengan lima pemangku kepentingan mengungkapkan proses perizinan dan aktivitas penambangan telah sesuai dengan standar operasional yang berlaku, termasuk kewajiban pertanggungjawaban melalui program Corporate Social Responsibility
(CSR).
Penelitian oleh Regus, M (2011) mengungkapkan bahwa resistensi lokal
mencerminkan penolakan komunitas lokal terhadap ekspansi perusahaan tambang yang didukung oleh undang-undang negara yang mendorong proses eksploitasi. Industri tambang di Manggarai, NTT, belum sepenuhnya menginternalisasi etika
lingkungan dari perspektif lokal, menandakan kurangnya penghargaan perusahaan terhadap aspek-aspek lokal. Hal ini menarik karena masyarakat lokal memiliki kapasitas untuk menilai pentingnya peran yang harus dimainkan oleh negara dan
bagaimana perusahaan harus mempertimbangkan kepentingan lokal. Dalam konteks permasalahan tambang di Manggarai, NTT, masih terdapat banyak isu yang belum terselesaikan. Namun, ada keyakinan yang kuat bahwa pola yang ditunjukkan oleh perusahaan selalu sama-sama memanfaatkan basis regulasi untuk setiap tindakan yang berpotensi merugikan masyarakat lokal. Ini menyebabkan degradasi multi-aspek yang ditimbulkan oleh industri tambang tersebut.
Noviyanti Manik dan Jeanne Darc (2014) dalam penelitian yang
menggunakan metode deskriptif dan empiris menunjukkan bahwa penambangan, baik di darat maupun di laut, pasti akan berdampak negatif pada lingkungan. Hasilnya dapat dirasakan selama bertahun-tahun, bahkan mungkin permanen. Penambang timah ilegal di lepas pantai telah merusak terumbu karang, mencemari
pantai, dan mengganggu ekosistem perikanan dan sosial. Keuntungan jangka pendek akan membuat potensi besar jangka panjang sia-sia. Provinsi Bangka Belitung memiliki banyak potensi untuk ekosistem pesisir, terutama ekosistem terumbu karang. Penambangan timah di lepas pantai akan membuat terumbu karang
menderita dan mati. Karena lubang galian yang tersembunyi di dasar, sulit untuk mengontrol kerusakan laut.
Dari uraian penelitian terdahulu yang sudah dipaparkan diatas, menyajikan
bahwa temuan yang relevan dengan isu penambangan dan dampaknya terhadap
lingkungan dan masyarakat lokal. Ketiga studi tersebut menyoroti akan pentingnya kebijakan yang memperhatikan kelestarian lingkungan dan kepentingan masyarakat lokal dalan aktivitas pertambangan.
METODE
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data
menggunakan data sekunder melalui analisis literatur. Menurut M. Nazir, studi kepustakaan atau studi literatur adalah metode pengumpulan data yang
menganalisis buku, literatur, catatan, dan laporan yang terkait dengan topik
penelitian. Metode ini digunakan untuk mendapatkan pemahaman mendalam
tentang masalah yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. Peneliti
mengumpulkan data dari laporan penelitian, artikel jurnal, dokumen resmi
pemerintah, dan berita online. Peneliti menganalisis data sekunder ini untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang alasan mengapa rencana
pertambangan di Desa Beriga ditolak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertambangan Timah di Batu Beriga
Salah satu daerah yang menjadi lokasi operasional perseroan yaitu Desa
Batu Beriga. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Nomor 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2020–2040, beberapa pantai dan perairan telah ditetapkan sebagai zona pertambangan. Rencana penambangan pada awalnya ditentang oleh penduduk Desa Batu Beriga karena mereka khawatir akan mengganggu pekerjaan nelayan. Pertambangan laut telah menjadi topik yang kontroversial di banyak wilayah pesisir, termasuk di Desa Batu Beriga, Kabupaten
Bangka Tengah. Rencana operasi pertambangan laut yang diajukan oleh PT. Timah Tbk menuai penolakan dari mayoritas masyarakat setempat.
Aksi penolakan tersebut terjadi saat PT. Timah Tbk melakukan sosialisasi
rencana operasi Ponton Isap Produksi (PIP) di wilayah Beriga pada Jumat, 8
September 2023. Penolakan ini disuarakan oleh berbagai kalangan masyarakat, termasuk nelayan, pemuda, dan ibu-ibu. Salah satu alasan utama penolakan tersebut karena nelayan sudah menjadi bagian dari budaya dan warisan nenek moyang mereka. Masyarakat merasa bahwa lautan Batu Beriga adalah bagian dari warisan
yang harus dijaga untuk anak cucu mereka. (Mahendra, Arya Bima.2023).
Selain itu, mereka menekankan bahwa laut adalah sumber energi terbarukan
yang harus dipertahankan, sedangkan timah adalah energi tidak terbarukan yang akan habis. Beberapa warga juga mengaitkan penolakan mereka dengan adat istiadat selamatan laut yang telah lama ada di desa mereka, yang akan terganggu jika terjadi pertambangan laut. (Mahendra, Arya Bima. 2023).
Senin, 22 Mei 2024, Masyarakat Batu Beriga mengikuti aksi di depan
Kantor Gubernur untuk menunjukkan penolakan mereka terhadap rencana kegiatan penambangan di perairan mereka. Mereka khawatir tentang kemungkinan gangguan terhadap mata pencaharian nelayan dan dampak yang dapat ditimbulkan oleh penambangan terhadap lingkungan. Sebagai perwakilan dari Desa Batu Beriga, Jorghi berharap Penjabat Gubernur Bangka Belitung mempertimbangkan
keinginan masyarakat dan tetap teguh pada janjinya (Bangkapos.com, 2024).
Partisipasi Masyarakat dalam Menolak Tambang Laut
Rencana penambangan laut di Desa Beriga ditolak oleh masyarakat
setempat Untuk membicarakan rencana tersebut, perwakilan dari masyarakat Desa Beriga yang berjumlah 5 orang, bersama dengan Ketua DPRD Bangka Tengah dan pemerintah kabupaten setempat, berencana untuk mengadakan pertemuan dengan pemerintah pusat. Mereka akan mengadakan pertemuan di Direktorat Minerba Kementerian ESDM RI dan Direktorat Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan RI pada tanggal 24 Oktober- 25 Oktober 2023 untuk menyampaikan penolakan mereka terhadap rencana penambangan di laut Beriga. (Mahendra, Arya
Bima. 2024).
Di sisi lain, DPRD Bangka Tengah telah mengirim surat kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai tindak lanjut dari rapat dengar pendapat (RDP) antara masyarakat Desa Batu Beriga, PT Timah Tbk, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten. PT Timah Tbk mengapresiasi pelaksanaan RDP ini
sebagai wadah yang konstruktif untuk membangun sinergi dengan berbagai pihak yang terkait. Perusahaan tersebut menyatakan kesiapannya untuk mematuhi peraturan yang berlaku dan membuka ruang diskusi dengan masyarakat secara luas. Pada intinya, tujuan dari forum ini adalah untuk mencari solusi yang dapat
mempertimbangkan kedua kepentingan, baik dari segi ekonomi maupun
lingkungan, sambil tetap menjaga ketertiban dan kondusifitas masyarakat.
Mahendra, Arya Bima. 2024).
Masyarakat Desa Batu Beriga menunjukkan penolakan yang kuat terhadap rencana pertambangan laut di daerah mereka. Mereka dengan tegas menyatakan penolakan tersebut saat PT. Timah Tbk mengadakan sesi sosialisasi rencana untuk melaksanakan operasi Ponton Isap Produksi (PIP) di perairan Beriga. Dengan satu suara, para penduduk Desa Batu Beriga mengungkapkan aspirasi penolakan merekad engan beragam alasan. Seperti yang diungkapkan oleh Jorgi, “Kami semua wargaD esa Batu Beriga telah sepakat untuk menolak pertambangan laut.” Jorgi menyorotip ertanyaan yang diajukan, mengenai keberadaan kapal isap di wilayah mereka (ulkodri, 2023)
Dalam peringatan Hari Bumi, Walhi dan sejumlah elemen masyarakat Batu
Beriga turut menyuarakan usaha pemulihan Bangka Belitung, menandakan resistensi terhadap pertambangan laut di Batu Beriga. Gerakan “Hari Bumi Pulihkan Bangka Belitung” mewakili upaya bersama untuk menggalang dukungan guna menghasilkan kebijakan yang pro lingkungan dan kehidupan. Tindakan ini
bertujuan untuk menekan pemerintah agar bertanggung jawab atas hak masyarakat terhadap lingkungan yang sehat. Dalam hal ini, ada tekanan untuk mengadili para oligarki yang merusak lingkungan serta memastikan pengakuan dan perlindungan
terhadap wilayah yang dikelola oleh masyarakat, wilayah tangkapan nelayan, dan wilayah komunal masyarakat adat di kepulauan Bangka Belitung.
Sekitar 60 mobil warga Desa Batu Beriga turut berpartisipasi dalam menyuarakan keprihatinan mereka terhadap rencana pertambangan laut. Masyarakat sangat kompak untuk menyampaikan aspirasi mereka ke pejabat daerah. Adapun point tuntutan masyarakat Desa Batu Beriga adalah Penghapusan IUP dan menggantikan RTRW. Aspirasi tersebut telah disetujui oleh Pj.Gubernur
dengan membuat surat pernyataan yang telah di tanda tangani oleh Pj Gub.
Sehingga dalam lima bulan ke depan, selama masa Pj Gubenur menjabat,
masyarakat Desa Batu Beriga akan merasa aman, dan bisa menolak kehadiran PT Timah ketika ingin melakukan pertambangan di laut mereka.
Upaya Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Pertambangan
Bagi negara, investasi dalam sektor pertambangan dianggap sebagai aset
yang perlu dilindungi dan dipertahankan oleh pemerintah. Pemerintah menganggap industri ini sebagai salah satu penopang utama ekonomi yang mampu memberikan
pendapatan yang besar melalui pajak dan royalti. Meskipun kontribusi sektor
pertambangan terhadap pendapatan negara mungkin tidak sebesar yang diharapkan, tetapi tetap dianggap berarti. (Harjanti, W. 2006)
Saat aksi hari bumi, pemerintah daerah mendengarkan aspirasi masyarakat
terkait dengan permasalahan pertambangan yang sedang terjadi di daerah mereka. Dua point tuntutan dari masyarakat Beriga yaitu penghapusan IUP di daerah mereka dan menggantikan RTRW. Aspirasi tersebut diterima oleh Pj Gub dengan menandatangani surat pernyataan. Dalam artian, selama masa Pj Gub menjabat PTT imah tidak diperbolehkan melakukan aktivitas pertambangan di daerah Beriga. Masyarakat perwakilan Desa Beriga juga sudah menemui Menteri SDM di Jakartadan mendapat jawaban bahwa pemerintah akan meninjau kembali terkait perizinan pertambangan yang ada di wilayah mereka.
Untuk mengatasi masalah tersebut, masyarakat dan pemerintah harus
berkomitmen untuk menjaga dan memantau kondisi laut Bangka Belitung yang tidak dirusak oleh para penambang yang tidak bertanggung jawab. Melalui
beberapa undang-undang dan peraturan, baik di tingkat pusat maupun daerah,
upaya pelestarian lingkungan dan pasca tambang kini dapat mencegah terjadinya
kerusakan yang lebih lanjut. Beberapa peraturan yang mengatur pertambangan di wilayah tersebut antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan
Pulau, yang menetapkan kerangka kerja untuk pengelolaan sumber daya
laut secara berkelanjutan serta perlindungan terhadap lingkungan pesisir dan pulau.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Pertambangan
Daerah, yang mengatur pengelolaan pertambangan di tingkat daerah untuk
memastikan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan
pemanfaatan yang sesuai dengan kepentingan daerah.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengatur tata cara dan
mekanisme pelaksanaan kegiatan pertambangan mineral dan batubara untuk memastikan perlindungan lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Pelaksanaan Pengelolaan Usaha Mineral dan Batubara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5142) Dengan penerapan undang-undang dan peraturan tersebut, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang lebih baik dan mencegah kerusakan lebih lanjut akibat
aktivitas pertambangan yang tidak terkendali.
KESIMPULAN
Masyarakat Desa Batu Beriga menolak adanya aktivitas pertambangan laut
di daerah mereka. Dengan mayoritas penduduk sekitar 70% bekerja sebagai
nelayan, mereka telah menjaga laut sehingga tidak memperbolehkan adanya
pertambangan di laut. Masyarakat Batu Beriga sangat bertahan atas keberadaan
mereka karena aktivitas laut tersebut bukan hanya sebagai mata pencaharian, tetapi menjadi penopang kehidupan sehari-hari mereka, termasuk untuk biaya untuk pendidikan anak-anak mereka. Sebagai tindak lanjut atas keprihatinan mereka, lima
perwakilan dari desa tersebut melakukan perjalanan ke Jakarta untuk bertemu dengan Menteri Sumber Daya Manusia (SDM), dengan harapan menyampaikan permasalahan yang mereka alami.
Dalam pertemuan tersebut, Menteri SDM memberikan tanggapan positif
terhadap keluhan yang disampaikan, dan meninjau kembali izin yang diberikan kepada PT Timah yang telah lama ingin melakukan aktivitas pertambangan di daerah mereka. Namun, di sisi lain, pertemuan dengan Menteri Kelautan dan
Perikanan (KKP) tidak menghasilkan respons yang sama positif seperti yang
diterima dari Menteri SDM. Ini menunjukkan adanya tantangan lebih lanjut yang harus dihadapi oleh masyarakat Batu Beriga dalam upaya mereka untuk melindungi sumber daya laut mereka.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua yang telah membantu selama penelitian ini:
1 Bapak Darwance, S.H., M.H, sebagai dosen pengampu mata kuliah hukum
pertambangan.
2 Semua pihak yang sudah berperan sebagai sumber informasi dalam
penelitian ini.
REFERENSI
Bangkapos.com. (2024, 2 Mei). Masyarakat Tolak Pertambangan Laut Desa Batu Beriga, Pj Gubernur: Saya Sudah Berkirim Surat ke Pusat. Diakses pada 10 Mei 2024,
darihttps://www.bangkapos.com/bangka/pangkalpinang/read/531376718/
masyarakat-tolak-pertambangan-laut-desa-batu-beriga-pj-gubernur-saya-
sudah-berkirim-surat-ke-pusat
Harjanti, W. (2011). Upaya Alternatif Pemerintah Indonesia dalam Mengurangi Dampak Negatif Kegiatan Pertambangan di Indonesia. Risalah Hukum: 44-52.
Hariansah, S., & Suganda, A. (2023). Pendekatan Keadilan Restoratif dalam
Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam antara Nelayan dan Penambang
di Bangka Belitung. Jurnal Magister Hukum Udayana, 12 (1) : 152-164
Kartini. “Nyata! Dampak Korupsi Tata Niaga Timah Meruntuhkan Ekonomi
BABEL.” Mentilinkite, 03 Mei 2024. https://mentilinkite.com/nyata-
dampak-korupsi-tata-niaga-timah-meruntuhkan-ekonomi-babel-4284/.
Mahendra, Arya Bima. 2023 Penolakan Pertambangan Laut di Batu Beriga, Kini
Muncul Pos. https://belitung.tribunnews.com/2023/10/02/penolakan-
pertambangan-laut-di-batu-beriga-kini-muncul-pos., diakses 10 Mei 2024
Mahendra, Arya Bima. “Kompak Tolak Pertambangan Laut di Wilayahnya, Warga Desa Batu Beriga: Masyarakat Satu Suara.” BangkaPos.com, 8 September 2023, https://bangka.tribunnews.com/2023/09/08/kompak-tolak-
pertambangan-laut-di-wilayahnya-warga-desa-batu-beriga-masyarakat-
satu-suara.
Manik, Jeanne Darc Noviyanti. Kebijakan Pertambangan Laut Timah yang
Berdampak pada Lingkungan. Universitas Bangka Belitung.
https://core.ac.uk/download/pdf/229876218.pdf
Nita, C. N. (2024, Mei 2). Pj Gubernur Safrizal Kirim Surat ke Menteri ESDM Agar Setop Rencana Penambangan Timah di Laut Beriga. Diakses tanggal Mei 10, 2024, dari https://belitung.tribunnews.com/2024/05/02/pj-gubernur-
safrizal-kirim-surat-ke-menteri-esdm-agar-setop-rencana-penambangan-
timah-di-laut-beriga
Nugraha, A. 2023. Nelayan Tolak Tambang Timah di Laut, Ombudsman Bangka Belitung Nilai ini Persoalan yang Kompleks.
file:///C:/Users/User/Downloads/Nelayan_Tolak_Tambang_Timah_di_La
ut_Ombudsman_Bangka_Belitung_Nilai_Ini_Persoalan_Kompleks.pdf,
diakses 10 Mei 2024
Rismika, T., & Purnomo, E. P. (2019). Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Laut
Akibat Pertambangan Timah di Provinsi Bangka Belitung. Jurnal Ilmu
Administrasi Publik 4(1), 63-80.
Zulkodri, M. (2023). Deretan Fakta Perjuangan Masyarakat Tolak Tambang Laut di Desa Batu Beriga, Akan Temui 2 Kementerian. BangkaPos.com.
https://bangka.tribunnews.com/2023/10/23/deretan-fakta-perjuangan-
masyarakat-tolak-tambang-laut-di-desa-batu-beriga-akan-temui-2-
kementerian?page=4, diakses 10 Mei 2024