Seputarbabel.com, Bangka – Provinsi Kepulaun Bangka Belitung (Babel), memang masih mengandalkan sektor pertambangan. Sementara PT Timah Tbk sebagai pemilik izin usaha pertambangan (IUP) paling luas, mulai dominan mengandalkan produksi biji timahnya dari Unit Produksi Laut Bangka (UPLB). Kini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Babel, telah memiliki peraturan daerah (perda) zonasi untuk mengatur tentang tata ruang wilayah laut.
Peraturan Daerah (Perda) nomor 3 tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), sebagai regulasi yang mengatur hal tersebut. Aturan ini pula yang menjadi pijakan, kenapa Kapal Isap Produksi (KIP) mitra PT Timah Tbk, beroperasi di laut Matras.
Menurut anggota DPRD Babel Adet Mastur dalam perda zonasi tadi, perairan Matras telah dibagi untuk berbagai zona usaha. Pada bagian pesisir ada zona pariwisata, di depannya zona tambang yakni wilayah pertambangan, IUP PT Timah dan zona tangkap nelayan. “Jadi sudah diatur sedemikian rupa mana untuk kepentingan masyarakat,” sambungnya.
Ia pun mengatakan perda zonasi telah melalui proses cukup panjang, sudah sejak periode sebelum. Sehingga hasilnya harus bisa diterima semua pihak, karena telah mengakomodir semua potensi usaha. Diantaranya juga telah mengkomodir potensi perikanan dan wilayah tangkap nelayan. “Sudah melalui pembahasan yang sangat panjang, masing – masing zona telah disesuaikan berdasarkan potensinya,” terang Adet.
Terkait zona tambang, pihaknya tidak bisa menghapus IUP PT Timah, bukan saja karena sudah masuk tata ruang nasional. Akan tetapi masih memilki potensi cadangan cukup besar, seperti di perairan Matras. “Kita tidak bisa menghilangkan IUP di laut, karena potensinya masih besar, karena depositnya masih banyak. Selain itu kita sudah mangatur semua (potensi) juga sudah wilayah tangkap nelayan, ikuti saja semua zonasi itu semua sudah diatur,” papar Adet.
Negara telah mengatur, untuk membatalkan produk hukum pemerintah. Bisa ditempuh dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) atau judicial review di Mangkamah Konstitusi (MK). “Kalau tidak dapat menerima zona yang telah ditetapkan dalam RZWP3K, dapat menempuh jalur hukum, ke MA atau MK,” pinta Adet.
Bagi masyarakat jika merasa tidak setuju, ia menyarankan agar menempuh jalur hukum bukan membuat kegaduhan. “Semua pihak harus menerima, kita tau mereka punya kepentingan dan kita sudah mengakomodir, berusaha mengeliminir permasalahan agar tidak ada sengketa antar pelaku usaha tiap zonasi,” sambung Adet.