Seputarbabel.com – Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon dalam uji Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang diajukan Fatriansyah Karya dan Fahrizan, dua orang warga Kelurahan Tanjung, Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, seperti kutifan beberapa tahun lalu Senin (4/6) siang, di ruang sidang Pleno MK. Dalam sidang pleno pembacaan putusan Perkara No. 25/PUU-VIII/2010 yang diketuai oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Mahfud.
Ada dua pasal yang diuji dalam perkara ini, yakni Pasal 22 huruf e dan huruf f serta Pasal 52 ayat (1) UU Minerba. Untuk Pasal 22 huruf e, Mahkamah berpendapat ketentuan sepanjang frasa “dan/atau” bertentangan dengan konstitusi. Begitupula dengan Pasal 52 ayat (1), juga dianggap tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan”.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat, ketentuan tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di dalam UU Minerba adalah sebagai wujud pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanahkan kepada negara untuk terlibat atau berperan aktif melakukan tindakan dalam rangka penghormatan (respect), perlindungan (protection), dan pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial warga negara. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, sepanjang menyangkut kriteria yang tercantum dalam Pasal 22 huruf a sampai dengan huruf e, tidaklah mengandung pertentangan norma karena antara satu kriteria dengan kriteria lainnya dapat diberlakukan berdasarkan kondisi masing-masing wilayah yang berbeda-beda satu sama lain, sehingga kriteria yang tercantum dalam huruf a sampai dengan huruf e dapat diberlakukan secara alternatif maupun kumulatif.
Namun, lanjut Mahkamah, jika dikaitkan dengan Pasal 22 huruf f, justru berpotensi menghalang-halangi hak rakyat untuk berpartisipasi dan memenuhi kebutuhan ekonomi melalui kegiatan pertambangan mineral dan batubara, karena pada faktanya tidak semua kegiatan pertambangan rakyat sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun. Hal seperti ini dialami oleh para Pemohon sebagai pelaku usaha pertambangan rakyat di wilayah Bangka Belitung yang pada saat permohonan ini diajukan belum mencapai 10 (sepuluh) tahun menikmati usaha pertambangan rakyat.
“Untuk menentukan suatu kegiatan pertambangan sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun, tentu masih perlu pembuktian lebih lanjut, baik formil maupun materiil, sedangkan UU 4/2009 nyata-nyata tidak mengatur tentang kriteria dan mekanisme pembuktiannya,” papar Mahkamah.
Apalagi, sambung Mahkamah, Pemerintah maupun DPR, dalam keterangannya, tidak menerangkan adanya alasan-alasan logis-rasional tentang batas waktu 15 tahun sebagai tenggang waktu yang cukup untuk menentukan suatu WPR.
Selain itu, dengan tidak adanya rujukan mengenai kriteria dan mekanisme yang sama bagi setiap pemerintah daerah untuk menentukan bahwa suatu lokasi pertambangan tersebut sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 tahun atau belum, menurut Mahkamah, justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Terlebih lagi Pasal 22 huruf f UU 4/2009 juga dapat memunculkan pertentangan norma jika dikaitkan dengan Pasal 24 UU 4/2009. Karena Pasal 22 huruf f memberi batasan pasti 15 tahun, sedangkan Pasal 24 tidak memberi batasan waktu,” tegas Mahkamah. Di samping itu, Pasal 24 itu berpotensi diinterpretasi secara berbeda jika dikaitkan dengan Pasal 22 huruf f.
Sedangkan terhadap pengujian Pasal 52 ayat (1) UU Minerba, Mahkamah berpandangan bahwa pengaturan tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), Wilayah Pencadangan Negara (WPN), dan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) sudah jelas dan tegas. Di mana urutan prioritasnya adalah dengan memberikan prioritas untuk menetapkan WPR terlebih dahulu, kemudian WPN, dan terakhir WUP.
Menurut Mahkamah, batas minimal 5.000 hektare dalam ketentuan tersebut dengan sendirinya berpotensi mereduksi atau bahkan menghilangkan hak-hak para pengusaha di bidang pertambangan yang akan melakukan eksplorasi dan operasi produksi di dalam WUP, karena belum tentu dalam suatu WP akan tersedia luas wilayah eksplorasi minimal 5.000 hektare jika sebelumnya telah ditetapkan WPR dan WPN.
“Sebaliknya, ketentuan minimal 5.000 hektare ini juga dapat dimaknai bahwa supaya WUP dapat ditetapkan, maka Pemerintah perlu terlebih dahulu menetapkan batas wilayah minimal 5.000 hektare. Jika hal ini terjadi, maka berpotensi untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi hak-hak rakyat dalam berusaha di bidang pertambangan kecil/menengah karena penetapan 5.000 hektare ini juga berpotensi mereduksi WPR maupun WPN,” Mahkamah berpendapat.
Mahkamah menilai, kalaupun kriteria 5.000 hektare tersebut merupakan bagian dari kebijakan hukum yang terbuka (opened legal policy), namun ketidakjelasan mengenai aspek kecukupan lahan yang berpengaruh pada daya dukung dan daya tampung lingkungan yang tidak diatur dalam UU Minerba, justru semakin mengaburkan nilai penting dari luas minimal 5.000 hektare itu, karena bisa saja luas wilayah 3.000 hektare sampai dengan 4.000 hektare sudah cukup untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan operasi produksi.
“Tanpa mengurangi hak-hak yang dimiliki oleh para pengusaha pertambangan yang akan beroperasi di WUP, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan kepada negara, dalam hal ini Pemerintah, untuk menguasai dan mempergunakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, rakyat Indonesia telah memberi amanat kepada negara, dalam hal ini Pemerintah, untuk dapat mengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Dalam menjatuhkan putusan kali ini, Mahkamah sebelumnya juga telah mempertimbangkan beberapa putusan sebelumnya, diantaranya Putusan Mahkamah No. 001-021-022/PUU-I/2003 dan Putusan Mahkamah No. 21-22/PUU-V/2007