Oleh: Marwan Alja’fari DPMP.
Ketua Umum PW MABMI Kepulauan Bangka Belitung
Saya bukan mahasiswa Sosiologi. Apalagi ahli Sosiologi. Namun tak perlu, apalagi harus jadi salah satunya, untuk memaknai sebuah kata: toleransi.
Dalam banyak hal di bab2 fiqih yg kita semua pelajari, seringkali kita temukan dua penerjemahan atau pemaknaan terhadap satu kata. Pertama, secara bahasa. Kedua, secara istilah.
Makna secara istilah bisa dikatakan selalu lebih luas cakupannya daripada makna secara bahasa.
Dalam kitab2 Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, kata tasamuh terpilih sebagai padanan untuk toleransi.
Tasamuh secara bahasa, selain berarti toleransi juga berarti tenggang rasa, tepa selira, atau menghargai perbedaan. Sedangkan secara istilah, tasamuh bermakna menghormati pihak yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama, landasan atau bingkai yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak, serta merasa paling benar sendiri.
Benar, jika ada yang katakan bahwa istilah ini wilayahnya psikologis, nafsiyah. Tapi siapa yang bisa menyalahkan jika ini masuk wilayah orang banyak, ijtima’iyah?
Sudah berpuluh-puluh tahun, Syaikh Rasyid Ridho, yang menjadi inspirator bagi kaum muslim modernis mengatakan:
نتعاون على ما نتفق عليه , ويعذر بعضنا بعضا فيما نختلف فيه
“Kita tolong-menolong atas apa yang kita sepakati dan saling memaafkan dalam hal yang kita perselisihkan.”
Itu levelnya sudah tolong-menolong. Ta’awun. Lebih dinamis daripada tasamuh.
Tohh, kata “kita” yang berarti lebih dari satu orang, relevan juga digunakan. Masa’ untuk toleransi tidak relevan?
Jadi, sebetulnya tidak cukup kokoh larangan untuk menempatkan “toleransi” dalam bingkai sosio-politik.
Dalam interaksi sehari-hari, sudah sangat biasa toleransi digunakan dalam bingkai itu. Di ranah politik, misalnya. Kata apa yang pas bagi satu parpol atau koalisi parpol untuk menyikapi perbedaannya dengan parpol atau koalisi parpol yang lain? Tentu saja: toleransi !
Tidak saja untuk relasi group to group. Group to person, pun toleransi itu relevan. Bukankah kita sering mendengar sebuah organisasi/perusahaan mentolerir kekeliruan anggota/karyawan atau pegawainya?!
Bagaimana sebaliknya? person to group? Sami mawon! Sebagai individu, seorang Ridwan Djamaluddin, misalnya, wajar saja sakit hati jika dikhianati oleh sekelompok orang atas nama (aturan) negara, dengan membangkangi perintahnya sebagai Pj Gubernur. Tapi ia ternyata bisa menTOLERIR perlakuan kepadanya itu
dengan tidak mempersoalkannya lebih lanjut! Padahal sangat2 bisa ia meladeni sekelompok orang itu, baik lewat jalur litigasi maupun nonlitigasi. Namun itu tak ditempuhnya. “Bukan level saya utk meladeni permainan mereka”, kata RD dalam hatinya, mungkin
RD tentu sangat sadar, bahwa ia hanyalah petugas atasannya dan bukan pilihan rakyat! Pertanggungjawaban dia, otomatis ke atasannya, Mendagri!
Secara politik, RD tidak lebih teruji dibandingkan Kepala Desa (Kades) Balun Ijuk yg kini menjabat. Sebab Kades dipilih rakyat, melalui proses pilkades, bukan ditunjuk bupati apalagi camat! Orang yang tidak kenal desa balun Ijuk, gak akan mungkin dipilih oleh masyarakat desa Balun Ijuk itu untuk menjadi kepala desa mereka! Aneh juga kalau org yg tidak mengenal desa Balun Ijuk, dan warga desa pun tak mengenal org itu, bisa jadi kepala desa.
Begitupun dengan PJ sekarang, Suganda Pandapotan Pasaribu. Ia tentu sangat sadar bahwa ia “hanya” pelaksana perintah atasannya. Dalam kapasitas sebagai PNS, mana bisa dia menolak ketika diperintahkan oleh Mendagri utk menjadi Pj. Gubernur KBB.
Bahwa dia secara kultur dan keyakinan akan menjadi minoritas di medan penugasannya, tentu ia sadari. Tapi itu bukan alasan untuk menolak perintah atasan. Alasan itu jelas terlalu pengecut bagi seorang yang ingin maju. Apalagi kalau selama ini dia telah mendengar bahwa Kepulauan Bangka Belitung ini terkenal sebagai masyarakat yang penuh toleransi.
Meski mungkin tak hafal, atau bahkan mungkin tak tahu Surat Al Hujurot, ayat 13 tentang Li ta’arofu, saya kira saat ini dan dalam beberapa waktu ke depan, (SPP) aSuganda Pandepotan Pasaribu singkatan utk Pj baru kita, pasti akan mengambil langkah2 untuk berkenalan dengan masyarakat di KBB, termasuk bertemu dengan tokoh-tokohnya. Dengan pengurus LAM KBB, MABMI KBB, dsb. Pasti, itu ! Percayalah!