Oleh Datuk Marwan Al Ja’fari DPMP.
Melanjutkan tulisan saya sebelumnya yang berjudul “ Melayu Rahmatan Lil ‘Alamin, menegaskankan tentang konsep agama islam mengajarkan penganutnya agar memberikan rahmat bagi seluruh alam. Ajaran yang mulia ini tentunya harus diamalkan dalam bermuamalah agar tercipta kedamaian sosial di muka bumi ini, dasar melaksanakan konsep rahmatan lil ‘alamin dalam bermuamalah dengan seluruh mahkluk yang ada di alam ini adalah surat al Anbiya ayat 107.
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107).
Ayat yang menjadi dasar berprilaku rahmatan lil a’lamin ini perlu di sosialisasikan dan untuk menginformasikan konsep ini agar sampai kepada seluruh penganut agama islam maka harus di kampanyekan oleh seluruh elemen masyarakat muslim agar menjadi suatu gerakan perubahan sikap , yang menebarkan kasih sayang sehingga menghasilkan prilaku yang saling menyayangi dan jauh dari perasaaan benci serta tidak menyakiti mahluk ciptaan Allah yang lain.
Dalam rangka mengkampanyekan gerakan ini tentu banyak sekali hambatan dan halangannya,
Hal- hal yang menjadi penghalang gerakan rahmatan lil alamin ini, dibutuhkan kerja keras untuk meluruskan dan menjelaskan bahwa ini adalah perintah tuhan yang wajib kita jalani.
Jika kita perhatikan
sekarang ini salah satu penyebab yang menghalanginya adalah akibat salah nya orang memahami ayat- ayat yang lain dalam alquran seolah- olah antara ayat yang satu dengan yang lain saling bertentangan. Menurut penulis tidak akan mungkinlah, Allah menyuruh hambanya agar berprilaku rahmatan lil alamin, tapi di ayat yang lain Allah memerintahkan lagi agar membatalkan rahmatan lil ‘alamin, pastilah ada kesalahan hambanya dalam memahami ayat yang allah turunkan, karena jika kita memahami suatu ayat hanya dengan tekstual saja tanpa melihat konteks dan asbab turunnya ayat serta tidak membaca sejarah dan pendapat-pendapat para mufassir yang kontemporer. Bisa dipastikan kita akan salah dalam memahaminya sehingga tidak bisa koneks dengan perintah Allah yang sudah baku.
Kita ambil salah satu contoh bagaimana kebanyakan muslim memahami surat al fath ayat 29 yang berbunyi
“ Muhammad itu utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang antar sesama mereka, kamu lihat mereka ruku’ dan sujud, mereka mencari karunia Allah dan keridhoannya, diwajahnya ada tanda-tanda bekas sujud.”
Jika kita memahami ayat ini hanya dengan tekstual saja, tanpa melihat konteks, asbab turunnya ayat dan tidak membaca pendapat para mufassir, maka bisa dipastikan akan terjadi kesalahan dalam kita memahami ayat ini.
Akibat kesalahan dan kegagalan dalam memahami pesan utuh ayat ini, akhirnya sering terjadi ketegangan dan berpotensi menimbulkan gesekan sosial di masyarakat yang majemuk seperti di negara kita indonesia.
Sering kita saksikan sebagaian dari saudara kita selalu memasang wajah kusam dan angker kepada non muslim atau juga kepada sesama muslim yang sudah mereka anggap kafir. Tak ada lagi senyum dan ramah tamah, mereka bahkan menyalah artikan ayat ini sebagai kewajiban bersikap kasar kepada orang yang dianggapnya kafir karena kata “ keras” dipahami mereka sebagai permusuhan.
Sebagian saudara-saudara kita juga bersikap mencurigai kebaikan orang non muslim terhadap orang Islam, karena memahami ayat di atas secara harfiah tanpa memahami konteksnya. Pendek kata, semua tindakan orang non muslim dicurigai dan ditolak, dan semua hal yang tidak benar dari sesama Muslim diterima begitu saja.
Padahal kalau kita lihat konteks turunnya ayat di atas, adalah suasana turunnya dalam situasi ketegangan, bukan ayat yang turun di masa tenang atau damai.
Jadi, memberlakukan ayat itu dalam konteks keseharian kita, saat berinteraksi sosial tentu kurang pas.
Saat itu ketika Rasulullah SAW bermimpi memasuki kota Mekkah sebagai sebuah kemenangan yang sudah dekat (fathan qariban), maka para sahabat dan Rasul bersama-sama hendak memasuki kota Mekkah untuk berhaji pada tahun keenam hijriah. Singkat cerita, kaum kafir qurais mekkah menghadang dan memaksa Rasulullah serta para sahabat untuk kembali ke Madinah dengan sebuah perjanjian di daerah Hudaibiyah, yang dikenal dengan nama perjanjian hudaibiyah, dimana menurut para sahabat utama seperti Umar bin Khattab, perjanjian tersebut sangat merugikan umat Islam.
Kemudian sejumlah orang munafik mengambil kesempatan untuk menimbulkan kegaduhan, seperti terekam dalam ayat-ayat awal Surat al-Fath. Lalu Allah pun menenangkan umat Islam yang seolah sedang patah semangat bahkan ada pula yang mempertanyakan kebenaran mimpi Rasul sebelumnya. Surat al-Fath turun dalam suasana yang demikian. Di akhir surat, Allah menegaskan kembali kebenaran mimpi Rasul, kepastian kemenangan (yang terbukti saat Fathul Makkah) dan kebenaran bahwa Muhammad itu seorang utusan Allah. Di ayat 29 inilah Allah seolah hendak mengatakan: ‘jangan kalian ribut dan ragu sesama kalian, kalian harus saling berkasih sayang dan berlemah lembut diantara kalian, sifat keras dan tegas itu seharusnya ditujukan pada orang kafir qurais bukan pada sesama kalian.
Ibn Abbas menafsirkan ayat 29 Surat al-Fath yang sedang kita bahas ini, mengkhususkan ayat ini untuk para sahabat yang menyaksikan persitiwa Hudaibiyah agar berlaku tegas kepada kafir qurais yang ada saat itu, jadi bukan ditujukan kepada semua umat muslim saat ini agar berlaku keras kepada semua non muslim.
Penafsiran Ibn Abbas di atas mengkonfirmasikan saat ini kita tidak dibenarkan bersikap garang dan bermusuhan kepada orang non muslim, karena semua ahli tafsir sepakat asbabun nuzul ayat di atas terikat erat dengan konteks ketegangan peristiwa Hudaibiyah.
Allah telah berfirman dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8 tentang bagaimana mengatur relasi dengan pihak non muslim:
“Allah tidaklah melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Itu artinya, Muslim tidak dilarang berbuat baik kepada tetangga maupun kawan sepermainan atau kolega di kantor yang merupakan non-Muslim.
Dua bukti lain bisa kita lihat dalam sejarah Rasulullah.
Pertama, ketika ayat assyidda’u ‘alal kuffar (al-Fath: 29) di atas turun, justru Rasulullah sedang bersikap ‘lunak’ kepada orang kafir dalam perjanjian hudaibiyah bukan sedang memerangi mereka.
Kedua, ketika peristiwa Fathu Makkah terjadi, Rasulullah juga bersikap lemah lembut kepada penduduk Makkah, bahkan Abu Sufyan pun mendapatkan perlindungan dari Rasulullah. Itulah sebabnya Rasulullah disebut sebagai Al-Qur’an berjalan, karena beliau tidak mengikuti hawa nafsu, amarah maupun dendam permusuhannya, tetapi benar-benar merupakan perwujudan rahmat bagi semesta alam.
Berikutnya bagaimana dengan kebanyakan orang muslim memahami surat al kafirun ayat 1-7, almaidah ayat 53, ali imran ayat 112, yang berkaitan dengan kafiruun, jika mereka salah lagi dalam memahami ayat- ayat tersebut, maka tidak akan bisa mengkoneksikan dirinya dengan konsep rahmatan lil ‘alamin…
solusinya,
teruslah mengajiii dan mengajiii…..
Datuk Marwan Al Ja’fari : Ketua Pengurus Wilayah (PW) Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (KBB)