PARPOL JANGAN PAKSAKAN HASRAT POLITIK UNTUK KEPENTINGAN KELOMPOK.
Oleh : Fahrizan. S.IP
Jajaran elite partai politik (parpol) baik di pusat maupun di daerah diingatkan agar tidak memaksakan kehendaknya dipasang maupun memasang para calon walikota/bupati hanya untuk memenuhi hasrat kepentingan kelompok dalam menghadapi pilkada 2018 khususnya di babel.
Tidak ada keharusan bahwa ketua umum di pengurus pusat maupun di tingkat propinsi maupun kab/kota harus diutamakan sebagai Capres, Cagub, Cawako maupun Cabup maupun pengurus parpol lainnya
“Partai sebagai salah satu pilar demokrasi didesain sebagai penampung aspirasi rakyat. Karenanya, harus melihat realitas dan keinginan masyarakat. Tidak memaksakan kehendak elitenya,”
Dalam konteks ini, peran pers sangat dibutuhkan untuk memunculkan figur yang benar-benar layak menjadi pemimpin. Masyarakat, perlu bantuan dan dukungan pers untuk mencari kader atau figur saat ini publik jenuh dengan nama-nama yang beredar sebagai calon walikota maupun calon bupati.
“Harusnya para pimpinan parpol menyadari bahwa peran parpol adalah untuk perekrutan. Itu artinya, dalam pencalonan mereka harus jeli dan tidak harus dari internal. Siapa pun jika dinilai layak, apalagi dapat dukungan kuat dari publik, parpol seharusnya menjaring itu,”
kepercayaan publik terhadap parpol saat ini cenderung sangat menurun. Dengan kondisi itu, parpol seharusnya menawarkan figur-figur yang tidak memiliki persepsi negatif di tengah publik agar kepercayaan masyarakat terhadap parpol secara linear juga meningkat.
Berdasarkan peta korupsi yang dibuat FEB UGM, pelaku tindak pidana korupsi selama kurun waktu 2001-2015 didominasi oleh politisi (anggota DPR/DPRD) dan kepala daerah serta swasta, dengan jumlah terpidana 1.420 orang. Jumlah kerugian negara karena ulah kelompok ini mencapai Rp 50,1 triliun. Data itu membantah persepsi publik selama ini, bahwa tindak pidana korupsi lebih banyak dilakukan oleh pegawai negeri sipil. Jumlah birokrat yang tersangkut tindak pidana korupsi dalam kurun waktu yang sama “hanya” 1.115 orang, dengan total kerugian negara Rp 21,3 triliun.
Selama ini, saat kadernya yang menjadi anggota DPR, DPRD, maupun kepala daerah tersangkut masalah korupsi, partai politik dengan cepat cuci tangan, sembari berkilah bahwa tindakan itu merupakan tanggung jawab pribadi dan tidak bersangkutan dengan institusi partai politik. Lazimnya, partai politik hanya mencopot pelaku kejahatan dari jabatan atau memberhentikan dari keanggotaan partai politik, menyisakan sang kader sendirian menanggung dosa.
Tanggung jawab parpol
Tidak sedikit yang kecewa ketika akhirnya Ahok memilih jalur partai politik, karena mereka mendukung sang Gubernur petahana maju lewat jalur independen dilandasi ketidakpercayaan terhadap partai politik. Beragam survei selama ini memang selalu menempatkan partai politik dan DPR sebagai dua institusi yang paling tidak dipercaya publik, karena dianggap kerap mementingkan diri sendiri dan melawan kehendak publik.
Survei SMRC, misalnya, menempatkan partai politik sebagai lembaga dengan tingkat kepercayaan masyarakat terendah (52%). Angka ini jauh di bawah TNI (89%), Presiden (83%), dan KPK (82%). DPR sebagai lembaga yang menampung partai politik juga mendapatkan nilai yang rendah, yakni 58%.
Salah satu nilai minus partai politik di benak masyarakat adalah sikap defensif, bahkan tidak jarang permisif, dalam menyikapi perilaku koruptif kadernya. Padahal, jika ditelaah struktur dan mekanisme kepartaian, sulit dipercaya para kader itu menjalankan aksinya tanpa restu atau sepengetahuan partai politik tempatnya bergabung. Pada beberapa kasus, yang tersangkut masalah hukum malah pengambil keputusan di partai politik.
Selain karena sifat rakus, sering disebut bahwa tindakan koruptif kader partai politik didorong oleh terbatasnya sumber pendanaan partai politik. Menurut UU No.2/2011 tentang Partai Politik, terdapat tiga sumber dana partai politik, yakni iuran anggota, sumbangan, dan bantuan negara. Sementara, PP No.5/2009 jo PP No.83/2012, menyebutkan setiap partai politik di tingkat nasional berhak memperoleh bantuan Rp 108 untuk setiap suara sah yang diraih saat pemilu.
Jumlah bantuan dari negara itu dinilai sangat kecil, sementara iuran anggota pun tidak dapat diharapkan menutupi biaya operasional partai politik, sehingga menyisakan ketimpangan yang lebar antara pemasukan dan pengeluaran. Kondisi ini memaksa partai politik mencari pemasukan tambahan melalui kadernya di eksekutif maupun legislatif. Karenanya, semakin banyak kadernya duduk di eksekutif dan legislatif, biasanya semakin mapan kondisi finansial partai politik yang bersangkutan. Sayangnya, tidak jarang upaya memperoleh sumber pendanaan tambahan itu dilakukan dengan cara-cara yang melawan hukum.
Karena selama ini partai politik terbukti gagal memperbaiki dirinya sendiri, perlu disusun regulasi yang mampu memaksa partai politik untuk menjadi institusi yang dapat lebih dipercaya. Misalnya, apabila selama ini hukuman yang dijatuhkan berhenti pada individu pelaku tindak pidana korupsi, di masa mendatang hukuman dapat juga ditimpakan kepada institusi partai politik, sepanjang terdapat bukti kuat tindak pidana korupsi itu dilakukan sepengetahuan partai politik, atau partai politik memperoleh manfaat dari kejahatan korupsi yang dilakukan kadernya.
Hukuman juga dapat dijatuhkan melalui instrumen finansial, seperti memotong jumlah bantuan negara untuk partai politik jika ada anggotanya di parlemen yang melakukan korupsi. Meskipun mungkin jumlahnya tidak terlalu besar, namun gaung hukuman semacam ini diharapkan akan membuat jeri partai politik, karena dapat mencoreng citranya di mata konstituen.
Partai politik juga bisa dicabut hak mengisi kembali kursi yang ditinggalkan kadernya yang dibui. Rakyat pasti tidak akan keberatan kehilangan wakil di daerah pemilihannya, daripada memiliki wakil namun pada kenyataannya hanya memanfaatkan kedudukan guna memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.
Apabila semua upaya itu tetap tidak berhasil menjadikan partai politik sebagai institusi yang lebih bersih, transparan, dan akuntabel, tinggal menunggu saat rakyat menggunakan haknya, mencampakkan partai politik yang menolak berubah dan berbenah.