Seputarbabel.com, Pangkalpinang – Menurut dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB), Ndaru Satrio. Dalam resume argumentasi, terkait tindak pidana korupsi (Tipikor) yang dilakukan secara bersama – sama disebut deelneming.
Dikatakannya bentuk – bentuk deelneming ini sendiri menurut von Feuerbach dibagi menjadi dua, yakni yang langsung berusaha dalam terjadinya tindak pidana. Mereka disebut auctores atau urheber yaitu yang melakukan inisiatif. Yang disebut auctores atau urheber yaitu yang melakukan inisiatif diklasifikasikan lagi menjadi beberapa, antara lain:
1. Pelaku (pleger), mereka yang perbuatannya memuat / memenuhi semua unsur – unsur delik yang bersangkutan.
2. Yang menyuruh melakukan (doen pleger), seseorang yang mempunyai kehendak melakukan suatu delik, tetapi tidak melakukannya sendiri dan dia menyuruh orang lain melakukannya.
3. Yang turut melakukan (medepleger), menurut Memorie vanToelieting (MvT) disebutkan bahwa yang turut melakukan adalah tiap orang yang sengaja “meedoet” (turut berbuat dalam melakukan satu peristiwa pidana).
4. Yang membujuk melakukan/pembujuk (uitlokker), mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Kemudian, bentuk deelneming ini sendiri menurut von Feuerbach lainya adalah mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka yang langsung berusaha dalam terjadinya tindak pidana. Mereka disebut gehilfe yaitu yang membantu (medeplichtige). Pasal 56 KUHP yang mana dipidana sebagai pembantu kejahatan : 1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dalam hukum acara pidana splitsing kasus memang menjadi hak jaksa. Pemisahan itu dapat dilakukan jika jaksa menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Tindak pidana itu juga melibatkan beberapa orang tersangka di dalamnya. Splitsing bisa dilakukan karena peran masing – masing terdakwa juga berbeda-beda.
Dalam kasus tipikor yang dilakukan secara bersama – sama ini jaksa di Pengadilan Tipikor tetap menjerat para pelaku dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sangat dimungkinkan hakim berbeda – beda dalam melihat peran dari masing – masing terdakwa. Bahkan melihat kerugian negara yang timbul dari tindak pidana itu pun bisa tidak seragam. Apalagi jika majelis hakim yang menangani kasus yang di split ini berbeda – beda pula.
Sering pula terjadi ada terdakwa baru dalam kasus yang sama diajukan ke pengadilan setelah ada putusan dengan terdakwa lain. Secara otomatis terdakwa baru itu pasti dihukum. Hal ini dikarenakan terdakwa lama sudah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dengan terdakwa yang baru.
Ndaru berpendapat bahwa ada sedikitnya 3 hal yang menjadi kelemahan dalam kasus tipikor yang dilakukan secara bersama – sama dan kemudian dilakukan splitsing. Kelemahan tersebut diantaranya adalah: 1. Penerapan hukum yang berbeda-beda terhadap kasus yang sama. 2. Pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah karena tersangka yang terseret dalam kasus yang sama sangat dipengaruhi oleh kasus yang telah diputus pengadilan. 3. Mengaburkan unsur dari deelneming itu sendiri.