Seputarbabel.com, Tepi Barat – Pengakuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, atas Yarusalem (Alquds) sebagai Ibu Kota Israel. Langkah pemindahan Kedutaan AS dari Tel Aviv (Tel Rabe), merupakan stategi hegemoni terhadap kota Alquds secara total yang bersifat politis. Kedua daerah tadi merupakan tanah Palestina yang dijajah Israel, Zionis Yahudi. Penolakan tidak hanya dilakukan warga Palestina, organisasi dunia yang fokus terhadap kemerdekaan Palestina terus menyeru penolakan.
Aksi warga Palestina di Tepi Barat menolak rencana Trump berujung bentrokan, sedikitnya 16 korban luka akibat gas air mata, peluru karet dan senjat api. Sementara Presiden AS justru menganggap langkah memindahkan Kedubes ke Yarusalem, merupakan kemajuan yang tidak dilakukan Presiden AS sebelum. “Inilah saatnya mengakui secara resmi Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel,” kata Donald Trump dalam pernyataan resminya yang dilansir CNN, kemarin.
Dari laporan bentrokan antar warga Palestina dan pasukan keamanan Israel, setidaknya ada satu orang yang juga terkena tembakan dari senjata api. Warga Palestina di Tepi Barat maupun Jalur Gaza menentang pengakuan Trump, mereka menggelar demonstrasi besar-besaran di banyak jalan wilayah tersebut. Ratusan pasukan keamanan tambahan dari Israel dikerahkan ke wilayah Tepi Barat.
Pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel telah membuat proses perdamaian dengan Palestina yang selama ini digagas badan dunia semakin jauh. Banyak pemimpin negara yang menyampaikan kekhawatiran atas langkah Trump, yang dinilai dapat memicu konflik lebih besar. Warga Palestina selama ini menginginkan Yerusalem sebagai Ibu Kota negara mereka di masa depan. Demikian den
Rabu (6/12/2017) International Aqsa Institute (IAI) di Istanbul, 18 Rabiul Awwal 1439/6 Desember 2017, mengeluarkan kecaman dan seruan tertulis. Pemindahan ini bersifat politis, strategi hegemoni kota Al-Quds secara total, untuk dijadikan sebagai Ibukota abadi bagi Yahudi. Penolakan terhadap pemindahan kedutaan AS ke Al-Quds, bukan berarti mengakui keberadaan kedutaan AS di Tel Aviv (Tel Rabe) yang merupakan tanah Palestina yang dijajah Israel.
“Keberadaan kedutaan negara – negara dalam entitas Zionis, tidak bisa diterim, karena hal itu berarti mengakui dan melegalisasi penjajahan Israel atas Palestina, melanggar hukum syariat dan undang-undang internasional,” tulis IAI mengingatkan.
Dua poin terakhir menyerukan kepada semua elemen umat Islam untuk menyatukan barisan. Agar memberikan perhatian dan dukungan berkesinambungan terhadap Masjid suci Al-Aqsha, dengan segenap kemampuan dan sarana yang dimiliki. Hal itu perlu dilakukan untuk menghentikan permusuhan dan penistaan terhadap kota suci Umat Islam, Al-Quds.
Lembaga yang konsen dalam membela Masjid Al-Aqsha, Al-Quds, dan Palestina tersebut juga mendesak para pemimpin negara dunia untuk menyatakan sikap tegas. “Mengecam, dan menghentikan arogansi AS dan permusuhannya terhadap kesucian umat Islam,” tulis pernyataan sikap IAI tadi.
Setelah mengikuti dan memperhatikan kondisi berkaitan dengan statemen Trump yang menjadikan kota suci Al-Quds sebagai Ibukota negara Yahudi, Israel. IAI dimana di dalamnya terhimpun para dai, khatib, peneliti, dan ulama yang giat mengedukasi umat untuk membela kiblat pertama Islam. “Karena kota Al-Quds merupakan Ibukota resmi Palestina, terdapat di dalamnya Masjid Suci Al-Aqsha, langkah AS adalah bentuk arogansi dan bentuk permusuhan terhadap umat Islam dunia,” tulis IAI.
Pemindahan kedutaan AS ke Al-Quds dan menjadikannya sebagai Ibukota Yahudi, secara jelas telah melakukan penistaan terhadap tanah suci umat Islam, tempat pertama disyariatkannya shalat lima waktu, dan tanah wakaf milik umat Islam hingga hari kiamat. Menurut IAI, langkah Trump tadi justru melahirkan ketegangan di kawasan Timur dan Barat, karena mengancam perdamaian dunia yang selama ini rajin dikampanyekan AS. (riz)