Tony Wen, Patriot Dari Bangka Untuk Indonesia

 

Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

DITENGAH para pendiri bangsa, nama Tony Wen sudah tidak asing lagi karena sang putra Sungailiat Bangka ini dikenal militan dan berani. Ia menyelundup candu ke Singapura untuk membiayai negara yang baru merdeka.

BEBERAPA waktu lalu (25/02/2023), ketika saya menjadi salah satu Narasumber dalam Seminar Kepahlawanan Tony Wen “Patriot yang Terlupakan” di Grand Mutiara Hotel Pangkalpinang, banyak yang bertanya melalui Whats App (WA), siapa itu Tony Wen. Saya pernah menulis ini tentang sosok Tony Wen ketika menulis buku “Amung Tjandra Sang Inspirator: Tokoh Pejuang Pembentukan Propinsi Bangka Belitung Lintas Generasi, Etnis dan Agama” (2010). Dalam bagian buku ini sedikit saya memasukkan perjalanan hidup Tony Wen yang diceritakan oleh Amung Tjandra yang kebetulan memiliki hubungan kerabat dengan Tony Wen. Sebab, Tony Wen adalah kakak ipar dari ayah Amung Tjandra, Tjen Fo Sang. Selain itu, saya mendapatkan referensi dari tulisan Drs. Sam Setyautama dalam buku “Peringatan 100 Tahun Sekolah THHKI/PAHOA Centennial of THHK School” (2001). Selain itu, dalam catatan ini saya juga mengutip dari beberapa sumber di media (internet).

Tony Wen (Boen Kim To) lahir di Sungailiat Bangka, 26 April 1911 dari keluarga yang berada. Ayahnya pada zaman Belanda adalah seorang Kepala Parit Bangka Beliton Tin Maatschapy. Masa kecilnya dihabiskan di Sungailiat Bangka hingga pendidikan setingkat SMP. Selanjutnya Tony Wen melanjutkan pendidikan di Singapura. Setelah menyelesaikan pendidikan di Singapura, ia menempuh pendidikan tinggi di U Ciang University Shanghai. Tak selesai disitu, ia pun kemudian kuliah di Liang Nam University di Guang Zhou.

Tony Wen dikenal memiliki perawakan yang gagah, tampan, rapi, ramah, tata bahasa teratur, mencerminkan diri sebagai sosok terpelajar. Ditambah dengan kumis tipis. Ia dikenal secara nasional dengan banyak membantu keuangan Indonesia di awal kemerdekaan Republik Indonesia dan juga sangat dekat dengan para Pendiri Bangsa serta aktif dalam dunia olahraga.

Setelah kembali ke Indonesia, Tony Wen menjadi guru olahraga di Pa Hoa Jakarta. Selain itu, ia juga sebagai juru bahasa di kantor urusan Kuakiao (Kakyo Hanbu) dari pusat Intelejen Jepang (Sambu Beppan).

Barisan Pembrontak Tionghua (BPT)

Ketika Jepang menyerah, Tony Wen meninggalkan Jakarta dan memilih untuk menetap di Solo. Di Kota Solo ini, Tony Wen membentuk organisasi peranakan, yang ia beri nama Barisan Pemberontak Tionghua (BPT), sebuah organisasi yang diisi oleh masyarakat Tionghua Indonesia yang militant pro Indonesia. Dalam buku otobiografi Adam Malik, “Mengabdi Republik Indonesia Jilid III : Angkatan 45” dikatakan oleh Adam Malik bahwa sosok Tony Wen adalah patriot Republik Indonesia. Bersama eks tentara Inggris asal India, beberapa warga Malaysia dan Dr. Estrada dari Filipina, pada awal revolusi bergulir, Tony Wen membentuk apa yang dinamakan sebagai International Volunteer Brigade.

Namun, organisasi Barisan Pemberontak Tionghua (BPT) yang dibentuk oleh Tony Wen ini bukanlah organisasi atau badan bersenjata seperti BPRMI-nya Bung Tomo. Organisasi yang dipimpin oleh Tony Wen ini sebatas menyediakan kebutuhan bahan-bahan perjuangan Indonesia di Solo. Mereka mengurus logistik dengan cara barter barang-barang hasil bumi dari daerah kekuasaan Republik Indonesia dengan barang-barang daerah kekuasaan Belanda.

Barisan Pemberontak Tionghua ini ternyata bekerjasama yang sangat erat dengan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Soediro, salah satu tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI). Tony Wen kemudian masuk menjadi anggota PNI dan menjadi pembantu R.P. Soeroso. Kemudian mereka membentuk urusan minoritas di Departemen Dalam Negeri.

Penyelundupan Candu

Pada tahun 1948, Republik Indonesia membuka perwakilan diluar negeri seperti India dengan Duta Besar Dr. Soedarsono dan di Singapura kuasa usaha Mr. Utoyo Ramelan, di Inggris Duta Bear Soebandrio, di Bangkok kuasa usaha Ishak Mahdi dan di PBB adalah Nico Palar. Semua ini membutuhkan biaya yang sangat besar, sedangkan perdagangan dengan luar negeri praktis terhenti akibat blockade Belanda dari segala jurusan. Usaha mencari dana dilakukan dengan melakukan penyelundupan keluar negeri.

Dalam usaha kesulitan itulah timbul gagasan Menteri Keuangan, A.A. Maramis, yang kala itu di Jakarta ada Candu mentah kurang lebih 22 ton yang diselamatan dari tangan Belanda. Candu tersebut diangkut dari pabrik obat di Salemba 4 dengan kereta api dari Yogyakarta. Seluruh candu itu disimpan di gudang Gowongan, sebelah utara Stasiun Tugu Yogyakarta. Tidak ada satu orang pun yang diperbolehkan untuk mengambil candu itu tanpa surat khusus yang ditandatangani oleh Moehammad Hatta. Dalam Sidang Kabinet, Moehammad Hatta menyetujui gagasan A.A. Maramis untuk menjual candu itu keluar negeri. Selanjutnya Pemerintah Indonesia membentuk Tim Pelaksana dan disepakatilah Mukarto Notowidagdo sebagai Koordinator dan anggota tim terdiri dari: Tony Wen (sebagai Pelaksana), Soebeno Sosrosepetro (sebagai Pengawas) dan Karkono Komajaya (sebagai Pembantu Umum dan Pengawas).

Tony Wen kemudian menghubungi Lie Kwet Tjien, yang dia anggap tahu betul seluk beluk perdagangan candu gelap di Singapura. Kemudian diaturlah organisasi penyelundup secara rapi dan rahasia. Penyelundupan pertama diangkut dengan speedboat berbobot 80 ton dari Singapura, lalu candu mentah seberat 0,5 ton diangkut bersama tumpukan karung gula pasir oleh Tony Wen, Soebeno dan Karkono bersama Lie Kwat Tjien beserta 4 ABK pada tengah malam tanggal 7 Maret 1948. Mereka berangkat dari Pantai Popoh, sebelah selatan Kediri Jawa Timur, lalu mengarungi Samudera Hindia ke arah Timur.

Direncanakan, mereka tidak melewati Selat Bali karena khawatir kepergok patroli Belanda, tetapi mereka harus melewati Selat Lombok untuk kemudian ke Laut Jawa menuju ke daerah perairan Singapura. Pada hari kedua, malam harinya perjalanan di tengah lautan, kapal mereka melewati Selat Lombok, Tony Wen dan kawan-kawan melihat kapal patrol Belanda berseliweran sehingga terpaksalah mereka mematikan mesin dan lampu kapal. Mereka pun terombang-ambing oleh gelombang lautan. Setelah 6 hari 6 malam perjalanan, mereka pun tiba di Pulau Sumbu dan pindah kapal dengan seluruh muatannya yang akan membawa mereka ke Pelabuhan Singapura.

13 Maret 1948, Tony Wen dan kawan-kawan tiba di Pelabuhan Singapura. Ternyata, betapa kagetnya Tony Wen dan kawan-kawan ditangkap oleh pihak imigrasi akibat tidak memiliki paspor. Namun, Tony Wen tidak kurang akal, ia langsung menghubungi adiknya yang tinggal di Singapura melalui telpon guna mendapatkan bantuan. Akhirya, kantor imigrasi bersedia melepaskan mereka dengan membayar uang jaminan sebesar 50 Ringgit Malaysia untuk jangka waktu tinggal 2 minggu. Setelah dibebaskan, mereka pun langsung menuju Empress Hotel guna menginap dan berpindah-pindah hotel untuk menghindari dari sergapan pihak keamanan.

Penjualan candu sepenuhnya dipercayakan kepada Lie Kwet Tjien. Hasil penjualannya disetorkan ke Chinese Overseas Bank atas nama Mukarto Notowidagdo. Tak seorang pun dapat mengambil uang tersebut, kecuali dengan cek Mukarto Notowidagdo. Dengan demikian, Tony Wen dan kawan-kawan tidak dapat menggunakan uang itu kecuali diberi oleh Mukarto Notowidagdo. Selama berada di Singapura, Tony Wen berlagak bak “Tauke” besar, pindah dari satu hotel ke hotel lainnya, mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pedagang besar di night club dan singing hall. Pendek kata, mereka selalu waspada untuk menghindari dari kecurigaan Polisi Singapura dengan cara menyamar sebagai pedagang bonafid. Semua yang dilakukan oleh Tony Wen dan kawan-kawan untuk membiayai perjuangan Pemerintah Republik Indonesia yang baru saja merdeka. Dalam aksinya, penyelundupan ini bertujuan untuk mencarikan dana perjuangan dan memang banyak dilakukan oleh warga Tionghua yang memiliki militansi tinggi terhadap Republik Indonesia. Selain Tony Wen, ada Lie Kwet Tjien, Sia Tek Soen, Liong Ming Lay.

Setelah Tony Wen pulang ke Indonesia, ia diangkat menjadi Anggota DPR dari fraksi PNI (1954 — 1956) menggantikan Drs. Yap Tjoan Bing. Selanjutnya Tony Wen pun menjadi Anggota Konstituante mewakili PNI untuk daerah Sumatera bagian Selatan. Tony Wen juga pernah menjabat di Kabinet Interim Demokrasi pada tahun 1955, ia masuk dalam cabinet Ali Sastroamidjojo.

Tony Wen dan Bung Karno

Ketika Bung Karno diasingkan di Menumbing Mentok Pulau Bangka daerah kelahiran Tony Wen. Sebagai seorang sahabat Bung Karno, Tony Wen tentunya tidak lepas tangan. Ia menghubungi keluarganya di Pulau Bangka, yakni Tjen Fo Sang. Tjen Fo Sang adalah ayah dari Amung Tjandra (Tjen Hon Liong), Tokoh Senior Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Melalui Tjen Fo Sang ini, segala kebutuhan Bung Karno dilayani dan disiapkan tanpa mengecewakan. Memang, selama dalam pengasingan, Bung Karno sangat tidak percaya dan menolak diberikan pelayanan oleh Belanda. Oleh karenanya ia memilih cara sendiri guna memenuhi kebutuhan pribadinya selama ditawan oleh Belanda.

Amung Tjandra, selaku keponakan Tony Wen menceritakan bahwa dirinya bersama sang ayah, Tjen Fo Sang melayani kebutuhan Bung Karno atas perintah dari Tony Wen yang saat itu sedang berada diluar Pulau Bangka, bahkan konon di luar negeri. “Dari kiriman uang, pakaian hingga cabut gigi, Bung Karno itu dilayani oleh ayah saya atas perintah Tony Wen” cerita Amung Tjandra. Hubungan Tony Wen dengan Sang Proklamator RI ini sangatlah dekat, beberapa fhoto Tony Wen nampak sedang bersama Bung Karno, menunjukkan betapa persahabatan dalam perjuangan untuk negeri tanpa memandang suku, agama dan budaya.

Sepakbola dan Pendiri/Ketua Umum PERBASI Pertama

Tony Wen yang pernah menjadi guru Olahraga memanglah seorang olahragawan. Ia adalah seorang pemain sepakbola nasional yang handal, gesit dan cerdas dalam taktik permainan. Sebelum Perang Dunia II meletus, Tony Wen salah satu pemain sepakbola yang sangat dikenal dan menjadi salah satu idola kaum remaja kala itu. Tony Wen adalah bintang sepakbola dan anggota perkumpulan sepakbola keturunan Tionghua (Tiong Hoa Oen Tong Hwee) di Petak Sin Kian Jakarta.

Pada tahun 1950-an, Tony Wen diangkat menjadi anggota Komite Olimpiade Indonesia dan Pengurus PSSI. Walaupun aktif dalam politik, Tony Wen tidak meninggalkan dunia olahraga yang ia cintai. Selain sepakbola, Tony Wen menjadi salah satu pendiri Persatuan Basketball Seluruh Indonesia (PERBASI) pada 23 Oktober 1951 dan ia adalah Ketua Umum PERBASI pertama.

30 Mei 1963, Tony Wen menghembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan di Menteng Pulo Jakarta. Kepergiannya meninggalkan banyak kenangan manis, heroik, patriotism, dan jasa yang luar biasa pada negeri. Masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pun bangga memiliki putra daerah yang berjiwa patriotik pada negeri. Semoga suatu hari nanti, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung segera mengajukan kepada Pemerintah Pusat untuk mengangkat Tony Wen Sang Patriot Bangsa ini menjadi Pahlawan Nasional. (*)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *