Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
SJAFRIE RACHMAN bukan pejuang lokal (Bangka), kiprahnya selama menjadi Tentara di beberapa daerah di Indonesia. Berbagai Penghargaan bahkan dari Presiden Soekarno ia dapatkan. Namun mengapa Pemerintah Provinsi Bangka Belitung tidak mengajukan beliau menjadi Pahlawan Nasional?
Sjafrie Rachman lahir pada tanggal 15 November 1926 di Belinyu Kabupaten Bangka dari pasangan Abdurrahman (Melayu) dan Muzaimah (Keturunan Tionghua). Kedua adik Sjafrie Rachman adalah tokoh Bangka Belitung, yaitu Rusli Rachman (Tokoh Pendidikan/mantan Anggota DPD RI) dan Prof. Bustami Rahamn (Mantan Rektor UBB/Ketua Lembaga Adat Melayu Negeri Serumpun Sebalai). Karena matanya sipit, maka Sjafrie Rachman digelari kakaknya bernama Atamimi dengan sebutan “Hoklo”.
Sjafrie Rachman mengawali pendidikannya di HCS (Hollandsch Chineesch School), sebuah Sekolah Dasar untuk anak-anak Tionghua. Sjafrie Rachman menamatkan pendidikannya di HCS pada tahun 1940. Sjafrie Rachman dapat sekolah di HSC berkat rekomendasi Demang Kasiman. Sebab tanpa rekomendasi Sang Demang tersebut, maka Sjafrie Rachman paling hanya bisa menempuh pendidikan di Inlandsch School, yakni sekolah untuk anak-anak inlander. Sebut Inlander adalah masyarakat pribumi kelas bawah.
Dimasa perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Sjafrie Rachman mendaftarkan diri test menjadi Taruna POM (Pendidikan Opsir Muda) di Pebem Palembang. Memilih menjadi Tentara adalah pilihan dirinya sendiri karena ingin mengabdi pada negara. Dari 98 peserta asal Pulau Bangka yang mengikuti test POM, hanya 15 orang yang lulus, termasuk Sjafrie Rachman. Jadilah dalam keluarga Abdurrachman & Muzaimah, hanya Sjafrie Rachman-lah yang menjadi Tentara.
Bukan Tentara Lokal
2 Tahun 7 bulan 16 hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Sjafrie Rachman yang kala itu usianya 17 tahun sudah mengikuti pendidikan militer dengan menjadi anggota Seitosnil selama 2 tahun (1943 — 1945) hingga memperoleh pangkat Djotohie (tanda pangkat zaman Jepang dengan gaji Rp. 35,-). Tidak puas dengan menjadi tentara lokal, Sjafrier Rachman memutuskan untuk mendaftarkan diri mengikuti pendidikan di Akademi Militer (AKMIL) yang baru didirikan 31 Oktober 1945 di Yogyakarta. Sjafrie pun dinyatakan lulus dan tentunya ini buah dari semangat dan doa kedua orangtuanya.
Husnial Husin Abdullah dalam buku “Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Bangka Belitung” (1983) mencatat bahwa ada 15 orang pemuda yang lulus untuk mengikuti pendidikan di Akademi Militer, salah satunya adalah Sjafrie Rachman. Lantas mereka pun berangkat sebulan menjelang tentara NICA mendarat di Bangka.
Rencananya mereka diberangkatkan dari Mentok ke Palembang terus ke Lampung. Dari Lampung barulah diseberangkan menuju Jakarta dan meneruskan perjalanan ke Yogyakarta. Namun, ketika rombongan pemuda-pemuda Bangka tiba di Palembang, Residen Palembang Dr. A.K. Gani dan Residen Lampung, Mr. Abbas melarang mereka meneruskan perjalanan. Pasalnya di Selat Sunda kapal-kapal patrol Belanda terus menerus melakukan ronda untuk pengawasan. Menurut berita kala itu, banyak pemuda Palembang dan pemuda Bangka ditembak tentara Belanda di Selat Sunda.
Mengingat kondisi tidak kondusif, mereka pun batal berangkat.
Namun masih ada harapan untuk menjadi Tentara, karena hampir bersamaan dengan itu terbentuknya di berbagai daerah dibentuklah Lembaga-Lembaga Pendidikan Perwira secara darurat. Di Palembang didirikan Pendidikan Opsir Muda (POM). Selama mengikuti pendidikan Militer di Pebem Palembang, praktik tempurnya adalah langsung melawan Belanda di Palembang, bahkan Sjafrie Rachman dan kawan-kawan melakukan pertempuran 5 hari 5 malam di sekitar Charitas dan Pasar Cinde.
Selesai pendidikan di POM, para tentara muda ini dipecah-pecahkan ke dalam beberapa Batalyon. Sjafrie Rachman ditempatkan di Batalyon yang dikomandani oleh Mayor Danny Effendy, yang disebut Batalyon Danny. Mayor Danny Effendy saat itu terkenal dengan keberanian dan kenekatannya dalam berperang. Syafrie Rachman dan kawan-kawan dengan dikomandani Mayor Danny Effendy ini kemudian didetasir ke Jawa Timur. Lantas dipindahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di Jawa Barat sedang runyam Pemberontakan DI/TII. Sementara dalam buku Danny Effendy yang berjudul “Gema Perang Rakyat di Sumatera Selatan 1945 — 1949” diungkapkan bahwa Batalyon Danny (Batalyon Garuda Merah TT-II) berangkat ke Jawa Timur tahun 1950, sedangkan pada tahun 1951 Mayor Danny memimpin Batalyon 11 Garuda Merah Organik Divisi Siliwangi.
Dalam buku tersebut ditulis bahwa Batalyon Danny yang mana didalamnya ikut serta Mayor Sjafrie Rachman dalam komandonya, terdapat data pertempuran dan operasi militer, meliputi:
1947: Pertempuran 5 hari 5 malam di Kota Palembang
1 Agustus 1947: Melakukan serangan balasan atas Kota Prabumulih
1949: Melakukan serangan balasan atas Kota Muara Dua
1950: Batalyon Garuda Merah TT-II diperbantukan ke Jawa Timur
1951: Batalyon 11 Garuda Merah menjadi Batalyon 11 Organik, Divisi Siliwangi.
Sebelum bergabung dengan ke Batalyon Danny, Sjafrie Rachman yang selama mengikuti Pendidikan Opsir Muda (POM) berada dibawah bimbingna pelatih Kapten Raden Musannif Ryacudu. Setelah lulus, Sjafrie Rachman memperoleh pangkat Sersan Kadet (Tanda kepangkatan siswa sekolah pendidikan militer untuk jadi Perwira) dengan jabatan Komandan Seksi 1. Pangkat dan jabatan ini dikeluarkan oleh instansi Tentara Republik Indonesia (TRI) tanggal 18 Mei 1946. Selanjutnya, dengan masih memangku jabatan Komandan Seksi 1, pangkatnya naik menjadi Sersan Mayor Kadet melalui Surat Ketetapan Perintah TRI pada tanggal 17 Agustus 1946.
Berikutnya, berdasarkan Surat Ketetapan Perintah yang dikeluarkan ALRI tanggal 19 September 1946, Sersan Mayor Kadet Sjafrie Rachman ditarik ke Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Ia masuk ke dalam Batalyon ALRI/Divisi II Garuda dibawah Komando Kapten Saroinsong. Di ALRI, Sjafrie Rachman bertugas selama 2 tahun dan disinilah Sjafrie Rachman turut bertempur 5 hari 5 malam. Selanjutnya ia dikembalikan ke Angkatan Darat sebagai Staf Operasi Batalyon 13 dibawah kepemimpinan Kapten Rasyad Nawani. Setahun kemudian, dengan pangkat Sersan Mayor Kadet/Vandrig berdasarkan Surat Ketetapan Perintah TNI tanggal 5 September 1949 dan tanggal 27 Desmember 1949, Sjafrie Rachman baru berada dibawah komando Kapten Danny Effendie.
Penumpasan DI/TII & Karier Militer
Berdasarkan Surat Ketetapan Perintah yang dikeluarkan Tentara Republik Indonesia Sementara (TRIS) tahun 1950, Sjafrie Rachman ditugas selama 4 bulan di Jawa Timur. Saat bertugas di Jawa timur sejak 19 Juli 1850, gangguan keamanan sudah terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan oleh Gerakan DII/TII.
Sjafrie Rachman turut bergabung dalam penumpasan Gerakan DII/TII guna mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada Saat menumpas
DII/TTI, Sjafrie Rachman langsung ditempatkan di jantung DI/TII Jawa Barat, tepatnya di Tasikmalaya. Mendapat tugas di Tasikmalaya inilah akhirnya Sjafrie Rachman melirik dengan getaran jiwa kepada seorang gadis anggota Palang Merah Indonesia (PMI) asal Sukabumi bernama N. Kurniasih. Dua sejoli ini pun menikah pada 13 Februari 1952 di Sukabumi. Perkawinan Sjafrie Rachman dan N. Kurniasih dikaruniai 7 orang anak (Riaini, Syafrullah, Syaril Manaf, Budi Amar, Riyanti, Rina Maryani dan Rini Maryani). Dari 7 anak ini, hanya Rina Maryani dan Rini Maryani yang lahir di Pulau Bangka.
Menurut adiknya, Rusli Rachman (almarhum), melihat dari catatan tanggal, bulan dan tahun serta tempat kelahirannya anak-anak mereka, sejak menikah Sjafrie Rachman sempat beberapa lama berdinas di Jakarta dan Jawa Barat sebelum akhirnya dikembalikan ke induk teritoriumnya di Sriwijaya tahun 1952. Oleh karenanya, karier di Militer dan berbagai Penghargaan berkat perjuangan membela NKRI yang didapatkan oleh Sjafrie Rachman sebetulnya sudah sangat pantas untuk diajukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai Pahlawan Nasional.
Sejak 1 Januari 1956, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan, pangkat Sjafrie Rachman naik dari Letnan II ke Letanan I dengan NRP: 11696. Sesudah memangku jabatan Komandan Kmkb DP, seterusnya Sjafrie Rachman menjadi Komandan Kompi Subs Res Infantri II/III, Kepala Bidang I DP.JT/V-RS II, mengikuti latihan Kepala Res II di Djakalomas dan menjadi Komandan Res 5 TT.II. Perjalanan karier si “Hoklo” dari Belinyu Pulau Timah ini sangat siginifikan dengan perjuangannya membela dan mempertahankan NKRI. Hal ini bisa kita lihat dengan berbagai bukti anugerah penghargaan yang ia terima, yakni: Medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia (1954), Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer Kesatu (1958), Peristiwa Aksi Militer Kedua (1958), Satya Lencana Kesetiaan VIII (1958), Bintang Gerilya (1958), Satya Lencana Gerakan Operasi Militer V (1959) dan Satya Lencana Kesetiaan XVI (1961).
Nah, dari sejarah yang ada, catatan ini penulis kutip dari buku “Pemimpin Ditengah Rivalitas Politik: Biografi Syafri Rachman” (2010) yang ditulis oleh Rusli Rachman, dikatakan bahwa Perjuangan Sjafrie Rachman berliku, yang semula hendak masuk Akademi Militer Yogyakarta, tapi akhirnya mengikuti pendidikan militer di POM Palembang yang belajar sambil berperang melawan Tentara Sekutu dan Belanda. Disinila awal karier militer putra Belinyu tersebut, yang ternyata tidak sebagai Tentara Lokal (Bangka), tapi sudah merambah ke berbagai daerah. Selanjutnya putra Belinyu paduan Melayu — Tionghua ini pun menjadi Bupati Bangka dan terbunuh oleh sabotase PKI. (BERSAMBUNG…….)