Belitung – Sebuah kisah tentang tanah yang merindu, doa yang terpenggal, dan perjalanan terakhir Muhammad Soleh, putra Belitung yang gugur saat menuntut ilmu, pada Selasa (30/9/2029).
Muhammad Soleh, 22 tahun, santri dan mahasiswa asal Kampung Damai, Tanjungpandan, Belitung, pendidikan di Ponpes Al Khoziny dan mahasiswa semester lima, anak bungsu dari Abdurrahman dan Sarkiah.
Jenazah akan diterbangkan ke Belitung untuk dimakamkan di tanah kelahiran. Musibah tersebut terjadi pada Senin, 29 September 2025, sekitar pukul 15.00 WIB. Saat itu, ratusan santri sedang melaksanakan salat Asar berjamaah di musala pondok pesantren yang masih dalam tahap akhir pembangunan. Bangunan tiga lantai itu ambruk diduga karena tidak kuat menahan beban.
Respons atas musibah ini berlangsung cepat. Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), bersama jajarannya mendatangi lokasi untuk menyampaikan duka mendalam dan memastikan koordinasi penanganan berjalan baik. Proses pencarian dan evakuasi korban yang masih terjebak terus dilakukan oleh tim gabungan Basarnas, BPBD, TNI, Polri, dan relawan.
Kediaman sederhana di Gang Dalam, Jalan Madura, Kelurahan Kampong Damai, Tanjungpandan diselimuti duka. Abdurrahman (70 tahun), ayah Muhammad Soleh, hanya bisa tertunduk lesu menerima takdir anak bungsunya itu.
Pertemuan terakhir terjadi pada Agustus 2025 lalu, saat Soleh pulang untuk liburan dan berobat. Sebelum berangkat kembali ke Sidoarjo, tidak ada firasat apa-apa dalam benak Pak Abdurrahman.
“Dia (korban) anak bungsu. Kalau kesehariannya memang pendiam,” tutur Abdurrahman, menggambarkan sifat anaknya yang penyabar dan rendah hati.
Sementara di Sidoarjo, kabar duka datang secara bertahap. Astria, sepupu Soleh, menuturkan bahwa korban sempat dievakuasi dalam kondisi masih sadar.
“Pagi tadi baru dibawa ke rumah sakit jam 07.00 dalam kondisi masih sadar. Setelah dirontgen itu mulai hilang kesadaran, tidak stabil, kritis. Kata dokter dari pinggang ke bawah itu agak parah,” jelas Astria.
Kondisi Soleh memang termasuk yang paling parah. Direktur RSUD Sidoarjo, dr. Atok Irawan, mengonfirmasi bahwa Soleh mengalami himpitan di bagian bawah tubuhnya dan harus menjalani amputasi di lokasi kejadian dalam upaya menyelamatkan nyawanya.
Sayang, upaya tim medis tidak berhasil. Muhammad Soleh menghembuskan napas terakhirnya di RSUD R.T. Notopuro Sidoarjo pada Selasa, 30 September 2025, pukul 09.30 WIB.
Dalam kesedihan, tali solidaritas menguat. Gus Yahya dalam pesannya menyampaikan, “Saya yakin ini adalah pertanda dari kasih Allah. Apa yang dialami para santri adalah karunia cobaan untuk meningkatkan kualitas pendidikan… Apalagi saya dengar ada yang wafat, dan itu terjadi dalam keadaan baik di hari baik, di tengah amal baik berupa salat berjamaah”.
Perjalanan Pulang yang Terakhir
Hingga Selasa sore, jenazah Muhammad Soleh masih disemayamkan di kamar jenazah RSUD R.T. Notopuro. Ahmad, salah satu kerabat yang berada di Sidoarjo, menjelaskan bahwa semua pengurusan administrasi jenazah telah selesai.
“Sudah dimandikan. Sudah selesai pengurusan jenazahnya tinggal tanda tangan surat,” ujarnya.
Rencananya, jenazah akan segera diterbangkan ke Belitung. “Belum ada jamnya penerbangan, nunggu saudara dari Belitung,” tambah Ahmad, menunggu kedatangan anggota keluarga lain termasuk ibu Soleh yang telah bertolak ke Sidoarjo.
Sang ibu, Sarkiah, dikabarkan tidak dapat menahan kesedihan dan terus menangis saat transit di Jakarta.
Muhammad Soleh pergi dalam keadaan yang dalam agama Islam dianggap mulia, saat menuntut ilmu dan sedang melaksanakan ibadah salat berjamaah. Meskipun langit Belitung hari ini mendung karena kepergiannya, semangatnya dalam menimba ilmu dan pengorbanannya akan selalu dikenang.
Kami Keluarga Besar turut berduka cita dan mengucapkan turut berbela sungkawa yang sedalam-dalamnya kepada keluarga almarhum. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan, dan almarhum Muhammad Soleh diterima di sisi-Nya.