ISU ISU KRUSIAL UU PEMILU

ISU ISU KRUSIAL UU PEMILU
Oleh Yulianti, SE
Seputarbabel.com – DPR telah mengesahkan RUU Pemilu menjadi Undang-Undang Pemilu pada Rapat Paripurna ke 32 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2017-2018 DPR di Gedung Nusantara II, Jakarta pada hari Jumat 21 Juli 2017 dini hari dengan hasil aklamasi memilih opsi A, yaitu Presidential threshold 20% perolehan kursi DPR atau 25% perolehan suara nasional. Partai yang menyetujui keputusan ini adalah partai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), Golkar, Nasdem, Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan partai oposisi yang terdiri empat fraksi yaitu Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Demokrat.
Pemilu serentak untuk pemilihan presiden dan wakil presiden sekaligus Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten akan digelar pada 27 April 2019. Pada Undang-Undang Pemilu yang baru ini terdapat beberapa point penting dan sama menariknya dengan sistem Presidential Threshold namun sepertinya luput dari perhatian masyarakat. Pada Undang-Undang Pemilu yang baru ini terdapat beberapa poin yang berbeda dengan aturan sebelumnya. Jika pencalonan presiden diatur dalam sistem presidential threshold, maka untuk mendudukkan kader partai di parlemen, aturannya terdapat dalam parliamentary threshold, sistem Pemilu, Dapil Magnitude, dan yang tak kalah penting Metode Konversi Suara: Sainte Lague Murni.

Presidential thershold
Presidential threshold adalah ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon presiden atau wakil presiden. Jadi yang dimaksudkan dengan Presidential threshold 20-25% adalah partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki 20% jumlah kursi di DPR dan/atau 25% suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya.
Presidential threshold ini bukanlah peraturan yang baru ada, sistem presidential threshold 20-25% telah ada sejak pemilu tahun 2009. Persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 Pasal 9 Tahun 2008, yang juga diatur dalam UUD 1945 pasal 6 ayat 2 berbunyi ‘pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pemilu’.

Pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014, PDI Perjuangan sebangai partai pemenang pemilu berhasil memperoleh 18,95% dari suara nasional tetapi masih belum mencapai syarat 20-25% tersebut sehingga berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa 9,04% dan Partai Nasional Demokrat berjumlah 6,7% sehingga koalisi ketiga partai ini menghasilkan kekuatan sebanyak 191 kursi di parlemen dengan total 34,06% suara untuk mencalonkan Joko widodo dan Jusuf Kalla sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Karena pada tahun 2019 pemilu yang diadakan adalah pemilu serentak presiden dan wakil presiden beserta anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD kab/Kota maka dasar presidential threshold 20-25% adalah hasil perolehan suara dan parlemen tahun 2014 yang lalu. Ini berarti yang bisa mengusung presiden dan wakil presiden- adalah partai-partai yang punya kursi atau punya suara sah dari pemilu legislatif 2014. Boleh dibilang sistem presidential threshold telah mematikan kesempatan partai baru seperti PSI dan Perindo (masih dalam tahap verifikasi partai politik) yang belum memiliki modal politik seperti yang disyaratkan untuk mencalonkan presiden sendiri tanpa berkoalisi. Partai-partai yang telah megikuti pemilu legislatif 2014 pun tidak ada yang memenuhi persyaratan 20-25% tersebut sehingga koalisi adalah satu-satunya jalan untk mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Parliamentary Threshold: 4%
Parliamentary threshold adalah ambang batas perolehan suara partai politik untuk bisa masuk ke parlemen. Ini berarti partai politik minimal harus memperoleh 4% suara agar kader partainya bisa duduk sebagai anggota Dewan. Apabila kalau ada suatu partai yang suaranya kurang dari 4% secara nasional, maka partai tersebut tidak bisa diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi di DPR.
Ambang batas Parlemen Tahun 2019 untuk DPR adalah 4% dari total suara sah secara nasional (Pasal 414 Ayat (1) UU Tentang Pemilu. Dibandingkan dengan Pemilu Tahun 2014 mengalami kenaikan sebesar 0,5% dari ambang batas 3,5%. Tentu dengan naiknya angka, meski hanya setengah persen, ini akan menyaring partai-partai yang tidak mencapai 4% untuk tidak memperoleh kursi di DPR.

Sistem Pemilu: Terbuka
Sistem proporsional terbuka berarti di kertas suara terpampang nama caleg selain nama partai. Pemilih juga bisa mencoblos langsung nama calon legislatif yang diinginkan.
Pada sistem ini, pemilih bisa memberikan suara secara langsung, sehingga bisa memperkuat partisipasi dan kontrol publik terhadap para calon wakil rakyat yang mereka inginkan untuk duduk di parlemen. Yang berarti para calon legslatif harus lebih banyak bersosialisasi dengan konstituennya. Selain itu, dinamika internal partai cenderung dinamis, sehingga lebih menggairahkan infrastruktur partai untuk lebih berlomba semakin aktif dalam partai. Namun dalam sistem proposional terbuka ini akan mereduksi peran partai karena pada kadernya akan lebih dominan menjual fgur diri masing-masing daripada bekerja sama antar kader di tingkat yang sama. Sistem ini juga akan menimbulkan kontestasi antar kader di internal partai, melemahkan kontrol partai terhadap para kadernya.

Dapil Magnitude: 3-10
Dapil magnitude atau alokasi kursi per dapil adalah rentang jumlah kursi anggota DPR di setiap daerah pemilihan. Berdasarkan Pasal 22 ayat 2 UU Nomor 8/2012, jumlah kursi di setiap dapil anggota DPR paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi. Hal inilah yang disepakati. Dapil magnitude, atau alokasi kursi per daerah pemilihan, merupakan rentang jumlah kursi anggota DPR di setiap daerah pemilihan. Sama seperti sebelumnya, jumlah kursi di setiap dapil anggota DPR paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi.
Perubahan (Penambahan) Daerah Pemilihan DPR RI terjadi di 3 (tiga) Provinsi dikarenakan adanyanya Provinsi Baru yaitu provinsi Kalimantan Utara dan perubahan alokasi kursi yang melebihi ketentuan UU Pemilu yaitu provinsi Kalimantan Barat dan provinsi Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian jumlah Daerah Pemilihan DPR RI pada Pemilu 2019 menjadi 80 Daerah Pemilihan sedangkan pada Pemilu 2014 terdapat 77 Daerah Pemilihan DPR RI.

Metode Konversi Suara: Sainte Lague Murni
Metode Konversi Suara yang akan digunakan dalam Pemilu 2019 menggunakan Metode Divisor (pembagi) Sainte Lague yang diperkenalkan oleh Prof. Andre Sainte Lague yang juga sama dengan yang diperkenalkan oleh Senator Daniel Webster dengan metode hitung berdasarkan bilangan pembagi 1, 3, 5, 7, 9, dst… serta dibagi habis di daerah pemilihan yang tercantum pada Pasal 415 UU Tentang Pemilu.
Metode ini sama sekali belum pernah digunakan dalam pemilu di Indonesia dari sejak pemilu pertama tahun 1955 sampai dengan 2014 yang lalu. Metode konversi suara mempengaruhi jumlah kursi setiap parpol yang lolos ke DPR. Metode sainte lague murni dalam penghitungan suara akan bersifat proporsional, yaitu tidak ada pembedaan dan tidak memihak apakah itu partai kecil ataupun partai besar.
UU ini menambah jumlah anggota DPR sebanyak 15 kursi, dari semula 560 kursi menjadi 575 kursi yang akan didistribusikan di beberapa provinsi di luar Jawa, seperti Jambi, Lampung, kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Barat.
Beberapa DPRD propinsi juga menambah jumlah kursi dengan alasan pertumbuhan jumlah penduduk. Misalnya, Jawa Barat yang maksimal 100 kursi sekarang menjadi 120 kursi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *