Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
SOSOK Sastrawan Nasional asli Pulau Bangka ini namanya diabadikan menjadi nama sebuah Gedung Pertemuan di Kota Pangkalpinang, Gedung HAMIDAH. Tapi, oleh Pemerintah Kota Pangkalpinang era kepemimpinan sekarang, pada Juli 2020, berubah menjadi Restoran PIZZA HUT. Apakah Sang Sastrawan berubah jadi Pegawai Restoran?
Tak banyak yang penulis ketahui secara langsung dari sosok Hamidah ini, karena berbeda masa yang sangat jauh dan kurangnya literasi tentang sosok beliau, akhirnya penulis berusaha mencari data dengan membaca dari beberapa tulisan orang-orang di berbagai website tentang sosok dan kiprah sang pujangga dari Pulau Bangka ini, Fatimah Hasan Delais.
Nama aslinya adalah Fatimah, namun ia memiliki nama pena Hamidah. Setelah menikah dengan Hasan Delais, namanya dikenal Fatimah Hasan Delais. Diusianya yang masih sangat muda, sosoknya di kenal secara nasional sebagai seorang novelis, penyair atau pujangga. Novel karyanya berjudul “Kehilangan Mestika” (1935) adalah salah satu karya perempuan pertama yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Fatimah (Hamidah) adalah salah satu dari segelintir perempuan Indonesia yang karyanya pernah diterbitkan pada masa itu. Selain itu, Fatimah juga banyak menulis Puisi yang banyak dimuat di “Pendji Pustaka” dan “Pudjangga Baru”.
Fatimah lahir di Mentok Pulau Bangka (Bangka Barat) pada tanggal 13 Juni 1915. Ia menempuh pendidikan di Meisjes Normaalschool, sebuah sekolah Belanda khusus perempuan di Padang Panjang Sumatera Barat. Setelah lulus, ia kembali ke tanah kelahirannya di Mentok Bangka Barat dan mengajar di Sekolah Melayu Mandiri atau Sekolah Rakyat (SR) di Mentok. Kemudian ia hijrah ke Palembang dan mengajar mata pelajaran “Bahasa Inggris” dan “Pegang Buku” di Palembang Instituut. Hamidah diceritakan sangat gemar membaca buku karangan Shakespeare. Setelah itu, Hamidah bekerja di Perguruan Taman Siswa sampai Jepang datang menjajah. Saat revolusi berlangsung, ia membuka sekolah sendiri yang pada tahun 1949 diserahkan kepada Pemerintah. Hamidah akhirnya menjadi pengurus P4A, Parnawi. Akhirnya Hamidah menjadi anggota Coerwis (diambil dari catatan dengan tulisan tangan yang tersimpan di PDS H.B. Jassin). Hamidah juga menjadi pembantu tetap Poedjangga Baroe di Palembang.
Selain menulis novel, Fatimah Hasan Delais yang populer namanya adalah Hamidah, juga menulis puisi. Karya puisinya “Berpisah” (Poedjangga Baroe No. 10 Th.2, 1935)— Puisi ini dengan judul yang sama juga dimuat di “Pandji Poestaka” No. 44 Th.13, 1935. Lalu juga ada Pusisi karya Hamidah berjudul “Kekalkah?” yang dimuat di Poedjangga Baroe No 12 Th.2, 1935.
Kumpulan puisi bersama yang memuat puisi-puisi karya Hamidah, antara lain, adalah termaktub dalam buku “Pujangga Baru: Prosa dan Puisi” (H.B. Jassin, 1963), “Seserpih Pinang Sepucuk Sirih” (Toeti Heraty, 1979), “Tonggak 1” (Linus Suryadi AG, 1987), dan “Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia” (Korrie Layun Rampan).
Karya-karya Hamidah dinilai sebagai karya yang menggunakan bahasa sederhana, seperti bahasa sehari-hari. Caranya bercerita setapak demi setapak, wajar dan tak membosankan bagi pembaca. Penyakit romantic yang selalu berlebih-lebihan tidak akan kita rasa di karya-karya Hamidah
Diusianya yang masih sangat muda, 38 tahun, Fatimah Hasan Delais atau dikenal dengan nama Hamidah menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 8 Mei 1953 di Rumah Sakit Charitas Palembang.
Novel “Kehilangan Mestika” yang Legendaris
Memiliki novel “Kehilangan Mestika” bagi saya selaku orang yang aktif dalam dunia tulis menulis adalah sebuah buku wajib. Selain itu mengenal karya sastrawan dari daerah sendiri sangatlah penting. Novel “Kehilangan Mestika” yang legendaris itu saya miliki dan tersusun rapi diantara ribuan buku-buku lainnya diatas rak buku dan perpustakaan pribadi saya. bagi saya, novel tersebut adalah novel yang sangat membanggakan.
Novel “Kehilangan Mestika” terbit pertama kali tahun 1935, cetakan kedua pada tahun 1937, cetakan ketiga tahun 1949, cetakan keempat pada tahun 1955, cetakan kelima pada tahun 1957 dan cetakan keenam pada tahun 1963, masing-masing dicetak 10.000 eksemplar. Jelas sudah bahwa novel karya putri Pulau Bangka ini sangatlah digemari.
Menurut suami Fatimah (Hamidah), bernama Hasan Delais, dalam suratnya kepada Balai Pustaka pada tanggal 2 Juni 1954, novel “Kehilangan Mestika” dikarang oleh Hamidah tatkala ia berumur 19 tahun. Hamidah semasa hidupnya bermaksud membuat lagi sebuah buku, tapi rupanya tak kesampaian.
Novel “Kehilangan Mestika” menggambarkan pentingnya pendidikan dan peran publik perempuan dengan berusaha mencoba melawan budaya patriarki yang membatasi perempuan dalam tradisi pingitan. Dimana Hamidah sebagai tokoh utama melakukan perlawanan terhadap tradisi pingitan tersebut. Tradisi yang mengharuskan perempuan berumur 12 tahun harus tinggal di rumah, sampai mendapatkan jodoh. Pada masa penjajahan Belanda, berlaku ada istiadat feudal di kalangan kaum bangsawan menengah dan atas yang disebut pingitan. Pada kala itu, sosok Hamidah adalah sosok perempuan yang berani melawan tradisi pingitan dengan melakukan perlawanan itu dengan memulai menempuh pendidikan di Sekolah Normal Putri sampai dirinya menjadi seorang guru.
“… Akan diriku bersama dengan seorang saudaraku jang lain, menerukan peladjaran kami ke sekolah Normal Putri di Padang Pandjang. Tatkala akan meninggalkan ajah dan kampung halaman jang pertama kali, tambahan pula akan mengarungi lautan jang dalam dan lebar, timbullah kadang-kadang hati jang tjemas. Mulanja malaslah akan berangkat itu, meninggalkan segala jang dikasihi di kampung sendiri. Tetapi ajah jang yang ingin melihat anaknja mendjadi seorang jang berguna di kemudian hari untuk bangsa dan tanah air, menjuruh dengan tipu muslihat jang amat halus”
Paragraf diatas menggambarkan Hamidah diberi kesempatan oleh ayahnya untuk menempuh pendidikan keluar daerah. Tidak hanya diberi kesempatan menempuh pendidikan, tetapi juga ia diberi kesempatan mengembangkan dirinya karena ayah Hamidah ingin melihat anaknya berguna bagi bangsa dan tanah air.
Emansipasi yang dilakukan oleh Hamidah setelah lulus dari sekolahnya ialah dengan mengabdikan dirinya menjadi seorang guru. Hamidah memiliki kesadaran yang tinggi dengan memberikan pendidikan untuk masyarakat sekitarnya. Ia mengadakan kegiatan sosial, tak hanya mengajar masyarakat terutama kaum wanita membaca dan menulis, tetapi juga aktif dalam menggerakan perempuan untuk giat dalam berorganisasi.
Hamidah, Dulu “Kehilangan Mestika” kini “Kehilangan Gedungnya”
“Siapa sih Hamidah itu? yang punya gedung itu ya? Orang mana? Pengusaha kaya?” Begitu biasanya banyak ditanyakan kepada saya dari kalangan anak-anak muda. Sebelum menjawab serius, saya biasanya menjawab dengan canda bernada judes: “Dulu Hamidah itu Sastrawan, tapi sekarang dia sudah jual Pizza Hut. Dulu Hamidah itu pernah “Kehilangan Mestika” tapi kini malah Kehilangan Gedungnya”. Jawaban ini sebenarnya bukan sekedar canda, tapi saya ingin mengatakan bahwa dulu ada gedung Hamidah, sebuah gedung yang sangat populer pada masa itu, tapi kini berubah menjadi restoran Pizza Hut.
Memang, sejak Juli 2020, Gedung Hamidah yang meninggalkan banyak kenangan itu sudah bergeser oleh aroma Pizza Hut. Tidak ada lagi masyarakat Bangka Belitung khususnya warga Kota Pangkalpinang menyebut-nyebut Gedung Hamidah, sebab ia sudah berganti menjadi Restoran Pizza Hut. Energi sastra dan budaya tergeser oleh aroma Restoran modern yang menyengat.
Di era yang semuanya harus dinilai dengan “uang” alias “cuan” memang sering menggeserkan sebuah nilai dalam kehidupan masyarakat kita. Seorang pemimpin yang “tidak memiliki nilai” tidak akan pernah mampu memahami sebuah “nilai” sebab ia tak mampu membedakan antara “sukses” dan “bernilai”. Kita tidak menolak restoran pizza hut, tapi hendaknya tidak menggeser nilai. Kita tidak menolak pembangunan, tapi hendaknya mampu kembali membangun nilai itu. terima kasih kepada Pemerintah era tahun 80-an di Kota Pangkalpinang yang telah membangun sebuah gedung dengan diberi nama “Gedung Hamidah”. Ini menunjukkan bahwa pemimpin masa lalu memahami arti sebuah nilai.
Oleh karenanya, pada Pemerintah di masa yang akan datang, baik di Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung maupun Kota Pangkalpinang, sangat berharap sekali mampu membangun Gedung Hamidah kembali guna mengenang dan memberi motivasi, terserahlah dimana. Sebab Hamidah adalah milik Bangka Belitung, milik Indonesia. Penulis juga sudah menyampaikan kepada Bupati Bangka Barat, H.Sukirman dan Kepala Dinas Pariwisata Bangka Barat agar sesegera mungkin ada sebuah gedung di Mentok dinamakan Gedung Hamidah. Sebab Hamidah dilahirkan di Kota Pusaka, Mentok Bangka Barat. Bahkan kalau perlu, ada sekolah dinamakan “Hamidah”. Mengapa tidak?
Oya, kapan ya para sastrawan dan budayawan Bangka Belitung ngumpul-ngumpul bikin kegiatan “Tribute to Hamidah” dengan bercerita dan berpuisi ria tentang Hamidah? Pasti asyik…..
Sungguh berat rasa berpisah
Meninggalkan kekasih berusuh hati
Duduk berdiri sama gelisah
Kemana hiburan akan dicari
Kian kemari mencari kesunyian
Mengenangkan kekasih diri masing-masing
Hati terharu, dilipur nyanyian
Tapi suara tak mau meandering
Dimanakah dapat awak menyanyi
Bukankah sukma tersentuk duri?
Hati pikiran berusuh diri?
Dimanakah dapat bersuka ria
Tidakkah badan sebatang kara?
Kenangan melayang nyebrang segara?
(Hamidah: “Berpisah”)