Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
“DULU menjadi Anggota Dewan itu benar-benar bekerja, tidak ada main proyek, tidak ada fasilitas, apalagi money politic. Pokoknya bekerja untuk rakyat dan membangun daerah”
(Amung Tjandra)
BICARA tentang Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tidak lepas dari nama sosok ini, Amung Tjandra (Tjen Hon Liong). Bersama Datuk Sri Haji Romawi Latif, sosok ini boleh dikatakan “Kelekak Terakhir” dari perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang menginspirasi para pejuang generasi ke-3 (reformasi) sehingga berhasil menjadikan Bangka Belitung memisahkan diri dari Sumatera Selatan.
Penulis merasa bangga sebab banyak waktu bercengkerama dengan Amung Tjandra semasa hidupnya. Bahkan beliau mengangkat penulis menjadi anaknya. “Ahmadi, kamu anak saya, saya dan ibu, angkat kamu sebagai anak” kalimat itu terus terngiang di kepala saya dan ada rasa bangga serta bahagia. Ternyata, anak-anak kandung Pak Amung Tjandra, sampai detik ini, walau Pak Amung Tjandra dan ibu telah tiada, memperlakukan saya seperti saudara kandung. Ketika Pak Amung meninggal dunia, malam sebelum dimakamkan, atas kesepakatan keluarga besar, saya mewakili keluarga untuk memberikan sambutan atas nama keluarga besar Amung Tjandra (Tjen Hon Liong). Pun di pemakamannya, saya diberi kesempatan sama dengan anak-anak kandung beliau guna menabur bunga di tanam pemakaman dan disebut sebagai anak dari Amung Tjandra.
Amung Tjandra (Tjen Hon Liong) adalah anak dari pasangan Tjen Fo Sang dan Yap Kon Khiun. Amung Tjandra lahir di Mentok, 26 Februari 1929. Anak ke-4 dari 8 bersaudara ini kelak menjadi sosok legendaris dalam perjalanan sejarah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sedangkan Ayah Amung Tjandra, Tjen Fo Sang adalah sosok yang dikenal sebagai pegawai timah di Bangka Tin Winning (BTW) dengan jabatan Komis. Ayahnya juga menulis buku dengan bahasa Belanda dan Hakka dan karena karya buku inilah ia mendapat Penghargaan dari Pemerintah Belanda. Keluarga mereka ini mengagumi sosok dan perjuangan Bung Karno. Ketika Bung Karno diasingkan di Mentok, Tjen Fo Sang inilah yang menjadi perantara antara Bung Karno dan Tony Wen. Sedangkan Tony Wen adalah salah satu pejuang yang notabene adalah kakak ipar dari Tjen Fo Sang (ayah Amung Tjandra).
Amung Tjandra menghabiskan masa kecilnya di Kota Mentok sampai usia 12 tahun. Ia mengenyam pendidikan di Lagere School (setingkat SD) di St. Maria Mentok. Semasa sekolah disini, Amung Tjandra aktif di Padvinder (Kepanduan/Pramuka) dan dipercaya menjadi Group Leider yang mereka beri nama Houtduivien (Merpati).
Dari Mentok Mengungsi ke Pangkalpinang & Batavia
Ketika penjajah Jepang masuk ke Mentok, Amung Tjandra dan keluarganya mengungsi ke Aek Item Kota Pangkalpinang, tepatnya di rumah kakek dari pihak ibu, Yap Ten Tiam. Selama dalam pengungsian di masa penjajahan Jepang, Amung Tjandra melanjutkan pendidikannya di sekolah Tionghua yang bernama THHK yang bertempat di pasar pembangunan Kota Pangkalpinang. Di sekolah ini, Amung Tjandra diajarkan bahasa Mandarin dan Jepang. 1 tahun ia menempuh pendidikan di THHK, selanjutnya Amung Tjandra menyelesaikan sekolahnya di Budi Mulia yang terletak di dekat Gereja Katedral Pangkalpinang.
Selanjutnya, semangat melanjutkan pendidikan membuat Amung Tjandra merantau ke Batavia (Jakarta). Di Jakarta ia indekost bersama sahabatnya, Oen Pit Wan. Di Jakarta Amung Tjandra sekolah di STRADA MULO Menteng. Setelah 1,5 tahun mengenyam pendidikan di STRADA MULO, Amung Tjandra pun dinyatakan lulus dan ia melanjutkan sekolah di Algemene Middelbare School (AMS).
Selesai merantau untuk menuntut ilmu di Batavia, Amung Tjandra memilih pulang kampung (Bangka). Berbekal ijazah yang dimiliki, ia pun bekerja di Rumah Sakit TTB (Tambang Timah Bangka) di bagian pembukuan dan keuangan. Selain itu, ia pun mengajar bahasa Inggris dan Pengetahuan Umum kepada para Perawat Rumah Sakit. Di Rumah Sakit TTB ini, Amung Tjandra bekerja selama 8 tahun. Selanjutnya ia diminta bekerja di PT. Budi Bhakti karena kemampuannya dalam masalah perbukuan dan keuangan, plus kemampuannya dalam korespondensi bahasa Inggris dan Belanda. Saat bekerja di PT. Budi Bhakti inilah Amung Tjandra aktif di partai dan terpilih menjadi Anggota DPRD GR Kabupaten Bangka.
Amung Tjandra menikah dengan Kristina Miyanti (Ho Mie Sian) dan melangsungkan pernikahan pada tanggal 9 Juni 1957 di Gereja Katedral Pangkalpinang. Dari pernikahan keduanya, melahirkan 6 orang anak, yaitu: Halim Tjandra (Tjen Hian Lim), Irwan Tjandra (Tjen Hiap Lip), Juniarti Tjandra (Tjen Fie Tjhoen), Afianti Tjandra (Tjen Fie Fie), Himawan Tjandra (Tjen Hian Kim) dan Antoni Tjandra (Tjen Hian Wen).
Partai Politik & Wakil Rakyat
Aktif dalam berbagai organisasi semenjak masih sekolah dasar di Lagere School Mentok dan pernah aktif di berbagai organisasi lainnya, seperti kepanduan (Padvinder) & organisasi Kepemudaan Katolik, membuat Amung Tjandra tertarik masuk dalam dunia politik. Pada tahun 60-an, Amung Tjandra pun resmi masuk dan aktif dalam Partai Katolik. Ia pun terpilih menjadi Ketua Partai Katolik dan Anggota DPRD GR (Gotong Royong) Kabupaten Bangka. Menurut Amung Tjandra, berkiprah di partai politik dan menjadi Anggota Dewan yang baik bisa menjadi penentu dalam berbagai kebijakan pemerintah dalam mensejahterakan rakyat. “Kita harus masuk dalam sistem jika ingin membuat perubahan. Kalau tidak, kita seperti anjing menggonggong kafilah berlalu” ungkapnya suatu hari kepada Penulis di kediamannya. Kepada penulis, Amung Tjandra seringkai mengungkapkan bahwa Penulis harus masuk ke dalam sistem Pemerintah. Sebab anak-anak kandung beliau, tidak ada satu pun yang terjun ke dunia politik dan masuk dalam sistem pemerintah.
Amung Tjandra menjadi Anggota DPR GR Kabupaten Bangka selama 2 periode (1964 — 1971). Kepada Penulis, Amung Tjandra masih ingat dengan kawan-kawannya di DPRD GR, yaitu: H.M. Ali Mustofa, Zulkifli AM, Zubaidah Roesli, Kaspul Anwar, Merabangun, Abdur Razak, Engkos, Drs. H. Supron Azhari (Paman dari Penulis), M. Zen Madji, dr. Amir dan lain-lain. Saat duduk menjadi Anggota DPRD GR, Amung Tjandra ditunjuk sebagai anggota Panitia Anggaran bersama Drs. H. Supron Azhari dan Engkos. “Dulu menjadi anggota dewan itu benar-benar bekerja, tidak ada main proyek, tidak ada fasilitas, apalagi money politic. Pokoknya bekerja untuk rakyat dan membangun daerah” ungkap Amung Tjandra kepada penulis beberapa tahun silam ketika Penulis menanyakan apa bedanya menjadi Anggota Dewan dulu dan Dewan sekarang.
Pejuang Provinsi Lintas Generasi (Ikrar Tanjung Kelayang)
Pada tanggal 26 Maret 1966, karena semangat bergelora untuk menjadikan Bangka Belitung sebagai Provinsi sendiri memisahkan diri dari Sumatera Selatan, para Anggota DPRD GR Kabupaten Bangka membentuk Badan Penyelenggara Pembentukan Panitia Persiapan Provinsi Bangka dan Belitung. Panitia tersebut berisi 5 orang yaitu: Zubaidah Roesli, Lamsoedin Dt. Bandaro Sati, A.Z. Fahmie, M. Zen Madji dan Amung Tjandra. Selanjutnya 18 April 1966, DPRD GR Kotamadya Pangkalpinang membentuk Panitia Sponsor Persiapan Provinsi Bangka Belitung yang berjumlah 12 orang, yaitu: Zulkarnain Achmad, Lettu. Saimin Sagiman, Soewardi Soerjohudojo, Bernadus Bernadi, Irwadi Umar, Bakri H. Usman, Achyar Ibrahim, Achmad Isja, Badri Umar Baki, Sjamsul Komar, Letda. H.M. Jazid Rachman dan Badri Umar Baki.
Pun demikian, Kabupaten Belitung membentuk Kepanitiaan, namun dalam perjalanannya tidak ada titik temu. Oleh karenanya, ketiga Kepala Daerah dan para Ketua DPRD sepakat mengadakan musyawarah bersama guna menyatukan persepsi ketiga daerah (Bangka, Pangkalpinang dan Belitung). Atas kesepakatan bersama tersebut, maka ditetapkanlah Tanjung Kelayang di Belitung sebagai tempat mengadakan musyawarah bersama. Adapun utusan yang mengadakan perundingan tersebut dari ketiga daerah, yaitu dari Kabupaten Bangka: Lamsoedin Dt. Bandaro Sati, Drs. Rusli Rachman, Amung Tjandra, Drs. Irham. Sedangkan dari Kotamadya Pangkalpinang adalah: Soewardi Soerjohudojo, A. Bakri H. Usman dan Bernadus Bernadi. Lalu dari Belitung sebagai utusan adalah: M. Noer, E. Soeban dan A. Hamid Achmad.
Setelah terjadi perdebatan alot dan sangat panjang yang melelahkan, akhirnya disepakati bersama sebuah kesepakatan yang diberi nama “Ikrar Tanjung Kelayang” yang ahkhirnya menjadi salah satu pedoman sebagai langkah perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung era reformasi. Selanjutnya kesepakatan Ikrar Tanjung Kelayang tersebut ditandatangani oleh Ketiga Kepala Daerah dan Ketua DPRD GR dari masing-masing daerah (Bangka, Pangkalpinang dan Belitung).
Selanjutnya para pejuang pembentukan Provinsi Bangka Belitung ini terus bergerak dan melobi Pemerintah Pusat hingga ke Senayan. Bahkan mereka sempat menemui Wakil Pimpinan DPR GR, Drs. Ben Meng Ray Say di kediamannya di Slipi Jakarta. Oleh Ben Meng Ray Say, Amung Tjandra dan kawan-kawan ini diarahkan untuk menghubungi Komisi III dan bagian B. Selanjutnya demi sebuah perjuangan, mereka pun harus bolak balik Bangka Jakarta. Menemui Komisi III dan Bagian B DPR GR di Senayan. Hasil dari usaha Amung Tjandra dan kawan-kawan ini, pada tanggal 20 — 27 April 1970, Komisi III dan Bagian B mengirim Tim Peninjau ke Pulau Bangka dan Belitung.
Selama kunjungan ke Pulau Bangka, Tim dari Pusat ini pun menginap di Menumbing Mentok. Disini pula mereka membuat garis besar Rancangan Undang-Undang (RUU) Usul Inisiatif yang dipelopori oleh L.S. Handoko Widjojo. Setelah Tim ini kembali ke Jakarta, maka pada tanggal 4 Juli 1970, mereka menyampaikan surat kepada Ketua DPRD GR dengan disertai RUU tentang Pembentukan Provinsi Bangka Belitung yang dipelopori oleh 24 pengusul dari Anggota DPR GR. Usul ini ditampung Panitia Musyawarah dan dalam rapatnya pada tangga 20 Agustus 1970, diputuskanlah bahwa pada tanggal 28 Agustus 1970, RUU Usul Inisiatif tentang Pembentukan Provinsi Bangka Belitung menjadi bahan utama dalam Sidang Paripurna Tingkat I. Dalam sidang tersebut, seluruh Anggota Presidium hadir bersama masyarakat Bangka dan Belitung.
Setelah adanya pembicaraan di Tingkat I, maka dilanjutkan oleh Tingkat II dan III. Namun, karena akan diadakan Pemilu, maka saat Presidium bertemu dengan Pimpinan DPR GR, H. A. Syaichu, beliau berkata: “Mohon sabar, sekarang sedang memfokuskan pada Pemilu, oleh karenanya kegiatan pemekaran ini kita tunda dulu. Bantulah kami nanti kalau kami menang dan kami janji akan membantu saudara-saudara”. Tetapi, apa hendak dikata, setelah Pemilu usai, para pengusul inisiatif ini hampir semuanya tidak terpilih lagi. Sehingga RUU Usul Inisiatif Pembentukan Provinsi Bangka Belitung lenyap dan dipeti-es-kan. Konon, RUU Usul Inisiatif ini adalah RUU Usul Inisiatif pertama yang dirancang oleh DPR GR.
Kandasnya Perjuangan Oleh Ali Moertopo
Setelah usai Pemilu, Gubernur Sumatera Selatan gerah dengan gerakan masyarakat Bangka dan Belitung yang ingin memisahkan diri dari Sumatera Selatan. Akhirnya ia pun bermain mata dengan orang kepercayaan Presiden Soeharto, Ali Moertopo. Saat Ali Moertopo datang ke Bangka dan berpidato dengan nada keras di halaman PN. Timah Pangkalpinang yang mana kala itu hadir para pejabat dan Tokoh Perjuangan pembentukan Provinsi Bangka Belitung serta tokoh masyarakat lainnya. Dalam pidatonya yang bernada keras itu, Ali Moertopo berkata: “Siapa yang berkeinginan untuk mendirikan Provinsi baru, silahkan dirikan Provinsi itu di laut sana!!” konon, ucapan yang sangat pedas ini masih terngiang oleh masyarakat Bangka dan Belitung, terutama para Pejuang Pembentukan Provinsi Bangka Belitung. Konon, dari pidato bernada keras itulah, disebut sebagai pemadam api perjuangan pembentukan Provinsi Bangka Belitung kala itu.
Ternyata, tidak selesai disitu, akibat dari pidato tersebut, orang-orang yang turut andil berjuang ingin membentuk Provinsi Bangka Belitung menuai akibat. Para Kepala Daerah diancam dan tidak boleh membantu baik moril maupun materil. Mereka yang berjuang diminta membuat Surat Pernyataan untuk tidak lagi ikut dalam percaturan politik tersebut. Tidak cukup sampai disitu, para pegawai pemerintahan (ASN) harus menerima akibat dengan dimutasi atau dimeja-panjangkan alias mengahadapi kursi kosong. Adapun tokoh-tokoh yang “dibuang” ke Palembang tersebut adalah: Drs. Supron Azhari (Paman Penulis), Irham, Sofyan Ahmad dan Pahrudin. Sedangkan M. Arub yang kala itu menjabat sebagai Bupati Bangka dan Rustam Effendi yang menjabat Walikotamadya Pangkalpinang mendapat teguran.
Sedangkan Amung Tjandra yang berasal dari swasta tidak mendapat sangsi, namun dipaksa harus tiarap dari gerakan perjuangannya yang menginginkan Bangka Belitung menjadi Provinsi sendiri. Karena jika tetap bergerak, maka sangat memungkinkan ia akan dikriminalisasi dengan berbagai tuduhan. Apalagi kala itu Orde Baru sedang berkuasa dengan penuh kekuasaan prima yang tak mungkin dilawan keinginan dan dilanggar keputusannya. Siapa saja akan dengan mudah dituduh “Makar” “Pemberontak” “Melawan Pemerintah” “Tidak Pancasilais” dan sebagainya……… (BERSAMBUNG)