Ahmad Rasjidi, Dari Medan Tempur Hingga Jadi Bupati

 

Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

MASA mudanya banyak di medan tempur, baik di wilayah Kota maupun Gerilya di hutan belantara. Tapi, walau mendapatkan penghargaan Bintang Gerilya, Ahmad Rasjidi Sang Putra Bangka ini tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.

SOSOKNYA tegas, keras, apa adanya, kalau bicara tidak pakai tedeng-aling, tak suka basa-basi, apa yang ada di hati itulah yang ia bicarakan di mulut, tak suka berbasa-basi manis dibibir lain di hati. Begitulah sekilas gambaran tentang sosok Ahmad Rasjidi, yang pernah menjadi Bupati Bangka (1960 — 1962). Penulis tidak mengenal langsung dengan sosok ini, tapi cukup dekat dengan anak-anak beliau seperti Apik Chakib Rasjidi yang biasa saya sapa Bang Apik, Idang Rasjidi (almarhum) yang biasa saya sapa Bang Idang dan Irjen Pol. (Purn) Chairur Rasjidi (almarhum) yang biasa disapa Bang Acid. Ketika Ahmad Rasjidi meninggal dunia, Penulis turut hadir menyolatkan jenazahnya hingga mengantar ke pemakamannya di Bogor.

Ahmad Rasjidi lahir di Sungailiat, 28 Februari 1925. Ia adalah anak dari pasangan seorang tokoh Bangka yang kala itu sangat populer, yakni H. Hamzah bin Limin yang akrab disapa masyarakat Bangka “Guru Hamzah”. Ibunya bernama Hj. Homimah binti Muid. Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, Ahmad Rasjidi menikah dengan Nursintarsih, putri dari Residen Serang Banten yang juga seorang Jaksa, Oyong Entol Ternaya. Dari pasangan Ahmad Rasjidi ini, lahirlah 7 orang anak, yaitu: Irjen Pol. (Purn) Chairul Rasjid, Harmain, Nadia, Apik Chakib Rasjidi, Ligya, Idang Chaidar Rasjidi (Idang Rasjidi/Musisi Jazz Nasional) & Stania Rasjidi.

Tak banyak informasi tentang riwayat pendidikan Ahmad Rasjidi yang Penulis dapatkan. Pun demikian dari putranya, Apik Chakib Rasjidi, yang beliau tahu ayahnya Ahmad Rasjidi pada tahun 1942, menempuh pendidikan di Landbow di Jawa Barat, sekolah pertanian pada masa itu. Selanjutnya saya banyak mendengar cerita dari Bang Apik (Apik Chakib Rasjidi) dan membuka situs Angkatan Udara RI di di internet guna mencari data tentang sosok putra Bangka legendaris, Ahmad Rasjidi dalam kiprahnya di Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

Dari Pertempuran ke Pertempuran
Pada saat Inggris masuk ke Indonesia sekitar tahun 1945, Ahmad Rasjidi mendapat panggilan dan arahan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Kepada putra Bangka yang menjadi pilot ini diberikan arahan: “Rasjidi, kamu ke Surabaya, menghadap dr. Moestopo”. Setelah itu, Ahmad Rasjidi pun menghadap dr. Moestopo sesuai arahan Sri Sultan Hemangku Buwono IX. Saat menghadap dr. Moestopo, Ahmad Rasjidi mendapat perintah: “Segera cari senjata dan tempur!”. Akhirnya pertempuran 10 Nopember di Surabaya pun pecah.

Ahmad Rasjidi ikut dalam berbagai pertempuran melawan penjajah, diantaranya di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada awal 1946, Ahmad Rasjidi kembai menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Yogyakarta guna melaporkan kembali pekerjaan yang ia lakukan. Selanjutnya Ahmad Rasjidi diarahkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk segera bergabung dengan Tentara Udara, yakni bergabung dengan S. Suryadharma dan lain-lain.

Pada tahun itu (1946), berdasarkan penetapan pemerintah Nomor 6 tertanggal 9 April 1946 tentang pembentukan Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara yang kemudian dikenal TNI AU serta ditetapkan pula Raden Suryadi Suryadarma menjadi Kepala Staf TNI AU dengan pangkat Komodor Udara, Sukarnen Martokusumo menjadi Wakil Staf TNI AU juga Agustinus Adisutjipto menjadi Wakil Kepala Ke-2 Staf AU dengan pangkat Komodor Udara Muda. Dengan demikian, ditetapkanlah setiap tanggal 9 April merupakan Hari Jadi AURI (TNI AU) sekaligus Hari Penerbangan Nasional.

Dalam Angkatan Udara, Ahmad Rasjidi memiliki NRP: 461062. NRP ini menunjukkan data Ahmad Rasjidi, bahwa 46 adalah tahun masuk AURI, 1 adalah angkatan pertama dan 062 adalah orang ke 62 di Angkatan Udara RI.

Ahmad Rasjidi dalam Kegiatan Penerbangan Angkatan Udara

Dalam Riwayatmu Doeloe, situs resmi TNI AU, Penulis menemukan beberapa catatan kegiatan yang memuat nama Ahmad Rasjidi dalam dunia penerbangan Angkatan Udara Republik Indonesia. Beberapa catatan tersebut, antara lain:

Pada tanggal 23 Juli 1946, bertolak dari Pangkalan Udara Maguwo sebuah pesawat “Cureng” T-86 yang dikemudikan Opsir Udara II Husein Sastranegara dan Kadet Udara I Win Prajitno menuju Pangkalan Udara Gorda (Banten) melalui Tasikmalaya. Dari Gorda bersama dengan pesawat “Tjureng” T-C5 yang dikemudikan Kadet Udara I Win Prajitno disertai Opsir Muda Udara II Ahmad Rasjidi dan Komandan Pangkalan Udara Gorda menuju ke Pangkalan Udara Karang Endah (Sumatera).

Pada tanggal 10 Agustus 1946 dari Pangkalan Udara Meguwo telah bertolak menuju ke Pangkalan Udara Maospati sebuah pesawat pembom “Diponegoro II” dengan awak pesawat yang terdiri dari Komodor Muda Udara A. Adisutjipto, Opsir Udara II Husein Sastranegara disertai juru teknik Opsir Muda Udara III Kaswan dan Opsir Muda Udara II Ahmad Rasjidi.

Pada tanggal 13 September 1946, 2 buah pesawat “Cureng” melayang-layang diatas makam almarhum Major Udara A.D. Tarsono Rudjito di Salatiga, ketika diadakan upacara pemakamannya. Adapun para crew pesawat tersebut, masing-masing ialah Opsir Udara II Iswahyudi (pilot) disertai Opsir Muda Udara II Ahmad Rasjidi dan Opsir Udara I Husein Sastranegara (pilot) disertai dengan 1 orang juru potret.

Pada tanggal 26 April 1950, diserahkan Pangkalan Udara Talang Betutu beserta pesawat dan personilnya kepada pihak Pemerintah Indonesia dalam hal ini AURI dari Angkatan Udara Belanda. Mewakili Pemerintah Indonesia, Letnan Udara Satu (LU I) Ahmad Rasjidi yang sekaligus menjabat sebagai Komandan Pangkalan Udara Talang Betutu (Palembang) pertama. Kemudian dengan Skep Kepala Staf Angkatan Perang No: 023/P/KSAP/50 tanggal 25 Mei 1950, Lapangan Terbang Talang Betutu resmi menjadi Pangkalan TNI Angkatan Udara Palembang. Nama Ahmad Rasjidi sang Putra Bangka juga diabadikan namanya menjadi salah satu Balai di Lapangan Udara Sri Mulyono Herlambang (SMH), yakni Balai Prajurit Ahmad Rasjidi.

Kedekatan Dengan MT. Haryono & Bung Karno

Sepengetahuan Apik Chakib Rasjidi, Ahmad Rasjidi sangat dekat bahkan sudah seperti keluarga dengan Pahlawan Revolusi, MT Haryono. Beliau juga akrab dengan Presiden RI, Ir. Soekarno (Bung Karno). Suatu saat, Bung Karno sedang melakukan inspeksi dalam suatu Upacara, semua perwira berdiri memberi hormat dengan pakaian dinas lengkap beserta tanda jasa di dada. Ahmad Rasjidi kala itu hanya menggunakan tanda operasi dan bintang gerilya didadanya, padahal banyak yang beliau miliki namun sengaja tidak dipasang/dipakai lengkap.

Bung karno pun menanyakan kepada Ahmad Rasjidi: “Ras, mengapa kamu pakai tanda jasanya hanya itu, kok tidak komplit”. Mendengar pertanyaan Presiden RI ini, dengan enteng Ahmad Rasjidi menjawab: “Bintang sekarang bisa dibeli, Pak!”. Mendengar jawaban enteng Ahmad Rasjidi, Bung Karno pun nyeletuk dan berlalu: “Edan Kowe!”. Jawaban dari Ahmad Rasjidi ini sebetulnya adalah kritikan pedas gaya orang Bangka yang apa adanya sekaligus menunjukkan betapa dekatnya ia dengan Bung Karno selaku Presiden Republik Indonesia dan bicara tanpa tedeng-aling. Itulah Ahmad Rasjidi, sang putra Bangka.

“Pertengkaran” Dengan Gubernur

Perjalanan hidup Ahmad Rasjidi banyak dalam dunia pertempuran, baik pertempuran di kota maupun gerilya di hutan. Karena jasanya itu, Pemerintah Pusat memberikan penghargaan Bintang Gerilya dan Medali Gerakan Operasi Militer 1, 2, 3, 4, dan 5 kepada sosok Putra kelahiran Sungailiat Bangka ini. Setelah pertempuran diberbagai daerah, selanjutnya Ahmad Rasjidi bertugas di Markas Besar Angkatan Udara (MBAU). Pada tanggal 25 Mei 1960, Putra Bangka ini dilantik menjadi Bupati/Kepala Daerah Tingkat II Bangka.

Ahmad Rasjidi tidak sampai selesai memimpin Kabupaten Bangka. Sebab dirinya harus menelan pil pahit diberhentikan karena dianggap melawan pada Gubernur Sumatera bagian Selatan dan juga PN Timah. Ahmad Rasjidi yang memang berwatak keras dan tegas ini menjadi Bupati Bangka dimulai tanggal 25 Mei 1960 sampai 28 Nopember 1962. Konon, ia melepaskan jabatan Bupati/Kepala Daerah Tingkat II ini salah satunya diawali persoalan suplay beras untuk Pulau Bangka yang dianggap sangat susah dan kian tipis, akibatnya masyarakat Pulau Bangka pada waktu itu mengalami kesusahan beras. Lantas, Ahmad Rasjidi selaku Bupati menghadap sang atasan, Gubernur Sumatera bagian Selatan untuk mengurus persoalan ini demi masyarakat Pulau Bangka. Namun oleh Gubernur, Bastari, hal ini tidak menjadi persoalan yang signifikan alis angin lalu saja, dan merasa belumlah terlalu genting. Lantas Ahmad Rasjidi langsung menemui pemerintah pusat dan persoalan beras pun diselesaikan.

Ternyata aksi Ahmad Rasjidi selaku Bupati/Kepala Daerah Tingkat II Bangka (Bupati ke-3 di Bangka dan “Kepala Daerah” Pertama, sebab Bupati sebelumnya hanya sekedar Bupati tidak disebut Kepala Daerah) ini dianggap “kurang ajar” sebab ia langsung melapor ke Pemerintah Pusat. Lantas Ahmad Rasjidi dipanggil oleh Gubernur Sumatera bagian Selatan, Bastari. Kepada Ahmad Rasjidi, Gubernur berkata: “Mengapa kamu langsung ke pusat?” lantas dijawab oleh Bupati Ahmad Rasjidi: “Saya sudah bicarakan hal ini ke Bapak, tapi Bapak nggak peduli”. Mendengar jawaban Ahmad Rasjidi, Gubernur pun berkata: “Kamu melawan saya!” ternyata masih dijawab oleh Ahmad Rasjidi: “Terserah!”. Lalu Gubernur pun berkata: “Kalau kamu melawan saya, kamu saya pecat!” mendengar kalimat tersebut dengan enteng Ahmad Rasjidi melepaskan tanda pangkat sebagai Bupati dan melemparnya ke atas meja. “Saya lepas jabatan Bupati ini. Tapi ingat, jangan panggil saya Rasjidi anak Bangka kalau jabatan bapak juga tidak akan copot!”.

Selanjutnya Ahmad Rasjidi benar-benar melepaskan jabatannya sebagai Bupati/Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Bangka dan digantikan oleh R.A. Amin untuk menyelesaikan masa jabatannya tersebut. Selanjutnya R.A. Amin digantikan oleh putra Bangka, Mayor Sjafrie Rachman. Ternyata…, ucapan Ahmad Rasjidi “jangan panggil saya Rasjidi anak Bangka, kalau jabatan Bapak juga tidak akan dicopot” menjadi kenyataan. Setelah beberapa bulan kemudian, Bastari selaku Gubernur Sumatera bagian Selatan diberhentikan oleh Pemerintah Pusat.

Ketidakharmonisan antara Ahmad Rasjidi selaku Bupati/Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Bangka karena ia menganggap bahwa Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Provinsi bagaikan raja terhadap Kabupaten/Kota. Dalam suatu kesempatan, Ahmad Rasjidi berucap: “Buat apa jadi Kepala Daerah, kalau nyatanya tidak bisa mengatur daerah sendiri!”.

Kemudian hari, menurut putra ke-4 Ahmad Rasjidi, Apik Chakib Rasjidi, hubungan antara Ahmad Rasjidi dan Bastari sangatlah harmonis dan bagaikan keluarga. “Mereka itu berbeda dalam sikap kepemimpinan dan jabatan, bukan dalam hubungan silaturrahmi dan kekeluargaan. Jadi setelah tidak menjabat, kami keluarga besar, sesama anak dan orangtua malah sangat akrab”. Jadi kedewasan mereka dalam kepemimpinan atau jabatan tidak membuat hubungan silaturrahmi berpecah belah. Beginilah kedewasaan politik yang harusnya tidak sampai membuat pecah belah hubungan silaturrahmi.

Konflik dengan PN Timah
Selain dengan Gubernur, ternyata Ahmad Rasjidi selaku Bupati Bangka awalnya memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan PN Timah. Dimata Ahmad Rasjidi, PN Timah kala itu sangatlah berkuasa dan bagaikan raja diraja di Pulau Bangka. Padahal, ketika kapal keruk PN Timah terbalik di perairan laut Bangka, Ahmad Rasjidi selaku Bupati dan jajarannya turun tangan membantu hal tersebut. Namun, PN Timah tetap dianggap Ahmad Rasjidi tidak banyak memberikan kontribusi pada daerah yang ia pimpinan (Kabupaten Bangka) yang dulu meliputi seluruh wilayah di Pulau Bangka selain Kotamadya Pangkalpinang.

Kejengkelan Ahmad Rasjidi pada PN Timah memuncak, yakni ia menutup jalan Kabupaten yang dilewati oleh kendaraan PN Timah. Selaku Bupati Bangka ia melarang kendaraan PN Timah melewati jalan Kabupaten Bangka. Akhirnya PN Timah pun mengalah dan berusaha untuk melakukan pendekatan pada Bupati Bangka, Ahmad Rasjidi. Rumah PN Timah (sekarang Tins Galery Pangkalpinang) akhirnya dipinjamkan untuk menjadi rumah dinas Bupati Bangka (dulu, rumah dinas Bupati Bangka berada di Pangkalpinang). Tidak hanya itu, PN Timah juga dipinjamkan mobil dinas beserta sopirnya bernama Pak Kasim kepada Bupati Bangka, Ahmad Rasjidi.

Sekolah, Lapangan Sepakbola & “Kelekak”

Ada hal yang paling diingat masyarakat terhadap kepemimpinan Ahmad Rasjidi saat menjadi Bupati Bangka, yakni ia paksakan seluruh kampung di Pulau Bangka untuk wajib membangun sekolah dan lapangan sepakbola. Jadilah masyarakat bahu membahu dengan bergotong royong mendirikan sekolah. Sedangkan para guru ia drop dari Pulau Jawa, terutama Yogyakarta. Beliau mengutus Hatamarrasyid (orangtua Pengacara Senior di Bangka Belitung, Dharma Sutomo) yang merupakan pejabat di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka untuk mendatangkan para guru-guru ke Pulau Bangka. Makanya sampai hari ini, di Pulau Bangka, setiap kampung pasti memiliki sekolah dan lapangan sepakbola yang disebut masyarakat Bangka dengan “Lapang Bal”.

Dalam hal pendidikan anak-anak, Ahmad Rasjidi sangatlah keras kepada para orangtua, terutama kaum Bapak. Pernah ia berujar keras dihadapan bapak-bapak masyarakat Bangka dengan kalimat: “Ikak mun dak nek muat sekolah, ikak kirim bini ikak ke rumah ko!” (Kalian kalau tidak mau membangun sekolah, kalian kirim isteri kalian ke rumah saya!). Maksud dari ucapan Ahmad Rasjidi bahwa orangtua terutama kaum laki-laki jangan hanya bisa bikin anak, tapi juga harus bisa menyekolahkan anak sehingga mendapatkan pendidikan yang layak. Jangan cuma isteri bisa melahirkan, namun ketika dilahirkan anak tidak diberikan pendidikan.

Ada pula aturan “lucu” namun penuh makna dan filosofi dalam kepemimpinan Ahmad Rasjidi saat menjadi Bupati Bangka, yaitu: setiap orang yang menikah dan hendak membangun rumah, maka dibolehkan ia menebang pohon untuk membangun rumah. Namun, syaratnya ia wajib kembali menanam minimal 3 pohon pengganti dari yang ditebang. Selanjutnya Achmad Rasjidi sangat menganjurkan bahkan ngotot (cenderung dipaksakan) untuk membuat kebun di belakang rumah penduduk dengan banyak tanaman yang sampai sekarang kita kenal dengan “Kelekak”. Makanya sampai saat ini kita masih mengenal yang namanya “Kelekak” yang masih lumayan banyak di wilayah Kepulauan Bangka Belitung. Soal “Kelekak” ini ternyata sangat disukai oleh Ahmad Rasjidi. Baginya “Kelekak” adalah sesuatu yang memiliki makna dan filosofi kehidupan bagi masyarakat Pulau Bangka. Maka tak heran, ketika beliau pensiun dari jabatannya, ia pernah membuat perusahaan yang ia beri nama CV. Kelekak.

Satu lagi ciri dan karakter kepemimpinan Ahmad Rasjidi kala menjadi Bupati adalah sering bikin kelabakan bawahannya. Ia suka blusukan tanpa ada persiapan alias sering “ngerjain” para bawahannya. Misalnya, ia berkata pada bawahannya: “Besok kita ke Toboali”. Otomatis karena akan datang Sang Bupati ke daerah, semua dipersiapkan, terutama Camat mempersiapkan segala sesuatunya. Tapi, nyatanya Ahmad Rasjidi malam sebelum jadwal ke Toboali, malah beliau sudah berada di Belinyu tanpa ada bawahan yang bawahan. Disini tidak ada persiapan penyambutan, namun ia hadir ingin melihat langsung daerah yang ia pimpin tanpa ada sambutan atau laporan manis dari mulut dari para Camat. Di Belinyu, Ahmad Rasjidi sudah nongkrong dan duduk-duduk di warung kopi bersama rakyat dengan berkain sarung tanpa diketahui oleh bawahan maupun masyarakat bahwa dirinya adalah Bupati. Ia juga menginap di rumah warga. Besoknya masyarakat dan bawahan heboh, sebab ternyata Bupati Bangka tidak ke Toboali, malah blusukan langsung ke masyarakat di Belinyu. Karena gaya kepemimpinannya seperti ini, maka seluruh Camat harus selalu siap siaga setiap waktu, sebab Bupati bisa datang tiba-tiba ke wilayahnya tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu.

Tak Mau Dimakamkan di TMP Kalibata
Ahmad Rasjidi masuk dalam AURI bukan karena pendidikan, namun karena keadaan, begitulah menurut putranya Apik Chakib Rasjidi. Suatu ketika ia menanyakan kepada Bapaknya: “Bagaimana dulu bisa masuk AURI”. Dengan santai Ahmad Rasjidi menjawab: “Karena perang, kalau tidak perang, saya jadi petani”. Menurut Apik, Bapaknya adalah sosok yang sangat disiplin dan tegas dalam mendidik anak-anaknya. “Jangan buat salah! Kalau kamu benar, jangan takut! Tapi kalau bersalah, kamu harus minta maaf!” itu kalimat Ahmad Rasjidi yang sering ia ungkapkan kepada anak-anaknya.

Anak-anak dari pasangan Ahmad Rasjidi dan Nursintarsih pun sukses dalam bidangnya masing-masing. Misalnya, Chairul Rasjid (almarhum) menjadi anggota POLRI dengan pangkat terakhir Inspektur Jenderal (Irjen) bintang 2. Ia pernah menjadi Kapolda Kalimatan Barat, Kapolda Aceh dan Kapolda Jawa Tengah. Pernah juga menjadi Wakil Gubernur dan Gubernur AKPOL. Sedangkan Idang Chaidar Rasjidi (almarhum) atau lebih populer dengan nama Idang Rasjidi adalah musisi jazz nasional ternama dan legendaris. Sedangkan Apik Chakib Rasjidi adalah pengusaha sekaligus Tokoh Masyarakat Kepulauan Bangka Belitung. Putrinya bernama Nadia menikah dengan Anak Agung Gede Oka (almarhum) yaitu Putra bungsu dari Ida Anak Agung Gede Agung (mantan Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat). Sedangkan putrinya yang lain bernama Ligya kini tinggal di Amerika Serikat. Sebelumnya Ligya adalah Dosen Akademi Gizi di Jakarta dan sempat bekerja di Departemen Kesehatan. Kemudian ia pun hijrah ke Amerka dan bekerja di Pemerintahan Amerika Serikat.

Ahmad Rasjidi memang sosok yang tegas. Pada usia 42 tahun, ia pernah mengajukan pensiun dini dari AURI, namun ditolak. Namun setelah tidak menjadi Bupati Bangka, beliau pun menerima uang pensiun baik sebagai pensiunan AURI maupun sebagai pensiunan Bupati/Kepala Daerah. Pada tahun 1987, Ahmad Rasjidi dan isteri pindah ke Jakarta dan menetap di Jakarta Selatan. Pada tahun 2006, ia pindah ke kediamannya di Bogor setelah menjual rumahnya di Jakarta Selatan dan membangun rumah di Bogor.

Pada tanggal 5 Maret 2011, bertempat di RS MMC Jakarta, Ahmad Rasjidi meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Sebagaimana wasiatnya, beliau dimakamkan di Pemakaman Umum Kampung Kandang Bogor dan satu liang lahat dengan isteri tercinta. Penulis pun turut hadir dan menyolatkan serta mengantar jenazah sang tokoh legendaris yang pernah dimiliki masyarakat Kepulauan Bangka Belitung ini.

Sebagai pejuang yang mendapatkan penghargaan Bintang Gerilya, Ahmad Rasjidi berhak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Namun, menurut putranya, Apik Chakib Rasjidi, orangtuanya yang dikenal keras dan tegas itu menolak dan ingin dimakamkan satu liang lahat dengan isterinya tercinta. Itulah cinta sehidup dan semati. Selamat jalan orangtua kami…, semoga jasa dan kiprahmu pada negeri sebagai jalan penerang dan lapang menuju Sorga Allah SWT. Amiiin ya robbal alamiin………(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *