Seputarbabel.com – Pada tahun 1935 Masehi, pada masa pemerintahan Residen Mann, CJ(memerintah pada tahun 1934-1942 Masehi) di Pangkalpinang mulai dibangun kompleks makam Cina Sentosa Pangkalpinang.
Menurut prasasti pada tugu pendiri makam yang terletak di depan atau pada sisi barat Paithin yaitu rumah tempat sembahyang, kompleks makam ini didirikan oleh empat orang yaitu Yap Fo Sun wafat pada tahun 1972 Masehi, Chin A Heuw wafat pada tahun 1950 Masehi, Yap Ten Thiam wafat pada tahun 1944 Masehi dan Lim Sui Cian (tidak jelas tahun wafatnya pada masa pendudukanFacisme Jepang).
Kompleks makam Sentosa sekarang terletak di jalan Bukit Abadi di sisi Timur Jalan Soekarno Hatta Pangkalpinang, memanjang dari Utara ke arah Selatan dengan luas kompleks makam seluruhnya 199.450 m² (19,945 hektar). Sampai sekarang kompleks makam ini masih berfungsi, dengan jumlah sekitar 11.478 makam.
Tanah pekuburan Sentosa sebelum dikelola Yayasan Sentosa awalnya merupakan sumbangan dari keluarga bermarga Boen, salah satu keluarga terpandang di Pangkalpinang pada waktu itu yang juga menyumbangkan tanahnya untuk pendirian kelenteng Kwan Tie Miau pada tahun 1841 Masehi yang terletak di Jalan Mayor H. Muhidin Pangkalpinang.
Dari sekian banyak makam pada kompleks pemakaman Sentosa, terdapat makam tua yaitu makam keluarga Boen Piet Liem yaitu makam Oen Nyiem Foek. Makam ini dipugar di pada Min Kwet Sin Ngian atau tahun ke empat setelah pemerintahan Sun Yat Sen, tokoh terpenting dalam Partai Nasionalis Cina Kuo Min Tang (KMT) (Pinyin: Zhongguo Guomindang) yang memerintah di Cina pada tahun 1911 Masehi), jadi makam diperkirakan dipugar sekitar tahun 1915 Masehi.
Di antara makam-makam pada kompleks makam Sentosa terdapat makam Paulus Tsen On Ngie (Zeng Aner) yang lahir di Cungphin (Tiongkok) pada tahun 1795 Masehi dan wafat di Sungaiselan pada tanggal 14 September 1795 Maesehi. Makam ini tampaknya sengaja dipindahkan dari Distrik Sungaiselan ke Distrik Pangkalpinang mengingat ketokohan dan keteladanan Paulus Tsen On Ngie sebagai penyebar agama Katolik pertama di Pulau Bangka.
Pada tahun 1830 Masehi, Tsen On Ngie (Zeng Aner) datang ke Distrik Sungaiselan dari Penang Malaysia. Sejak tahun 1849 Masehi beliau mulai bekerja sebagai seorang tabib (shinse) dan berkeliling di Pulau Bangka mengobati orang-orang sakit, terutama buruh-buruh Cina yang bekerja di parit penambangan timah yang didatangkan dari Tiongkok. Banyak buruh-buruh tambang ini tertarik akan keteladanan Tsen On Ngie dan kemudian belajar agama Katolik kepada beliau, komunitas pemeluk agama Katolikpun terbentuk di Distrik Sungaiselan di bawah bimbingan Tsen On Ngie. Pada tahun 1849 Masehi pastor Claessens dari Batavia mengunjungi Distrik Sungaiselan dan mengkatolikkan 50 orang yang telah dididik dan dipersiapkan oleh Tsen On Ngie. Pada tahun 1853 Masehi Pastor Langenhoff dibenum untuk tugas di Distrik Sungaiselan dan Tsen On Ngie mendampingi beliau sebagai katekis (guru agama). Wilayah pelayanan pastor Langenhoff meliputi Bangka, Belitung, Palembang dan Riau dan malah berkembang sampai ke Kalimantan Barat. Pusat misi gereja di pulau Bangka yang berawal di Distrik Sungaiselan, pada tahun 1853 Masehi di pindahkan ke Kampung Sambong (sekitar 8 km dari Pangkalpinang), dan kemudian pada tahun 1913 Masehi dipindahkan ke Pangkalpinang. Sebelum menjadi pusat misi gereja Katolik, Distrik Pangkalpinang sejak tahun 1863 Masehi merupakan Stasi dari Distrik Sungaiselan dan mempunyai sebuah Kapel yang bernama Santo Yoseph. Sekitar tahun 1885 Masehi karena tak ada pastor yang menetap di pulau Bangka, maka Kapel Santo Yoseph tak terawat dan tanah tempat Kapelpun dijual. Sejak tahun 1925 Masehi umat Katolik di Kota Pangkalpinang dilayani dari Sambong dan misa diadakan sebulan sekali dengan memakai salah satu ruangan di Pengadilan Negeri pada waktu itu. Pada bulan Oktober 1928 Masehi Mgr Bouma ss.cc membeli sebidang tanah yang terletak di Jalan Jagal Pangkalpinang dan beliau mulai mendirikan beberapa bangunan untuk keperluan pusat karya gereja dan pada bulan Mei 1931 Masehi para pastor pindah dari Sambong ke Pangkalpinang di Kapel sementara yang diberkati pada tanggal 24 Mei (letaknya sekarang di kompleks SD Budi Mulia). Pada tahun 1934 Masehi ditugaskan Pastor di Pangkalpinang bernama Pater Bakker ss.cc, sebagai pastor pertama, Ia mulai membuka sebuah sekolah untuk anak putra. Pada bulan April 1934 Masehi bruder-bruder Budi Mulia yang pertama datang di pulau Bangka dan Pater Bakker ss.cc menyerahkan pengelolaan sekolah putra kepada bruder-bruder Budi Mulia tersebut. Pastor Pater Bakker ss.cc selanjutnya mulai merintis pembukaan sekolah putri, yang kemudian pada bulan Agustus 1938 Masehi pengelolaannya diserahkannya kepada suster-suster Pemelihara Ilahi. Pada akhir tahun 1934 Masehi tercatat jumlah murid sekolah Bruderan ada 60 orang laki-laki dan sekolah putri Pater Bakker berjumlah 30 orang perempuan.
Selanjutnya pada sisi sebelah Barat makam Paulus Tsen On Ngie terdapat makam Pastor Mario John Boen Thiam Kiat yang lahir pada tanggal 7 Agustus 1908 Masehi, wafat pada tanggal 31 Mei 1982 Masehi. Pastor Mario Johannes Boen Thiam Kiat yang dikenal masyarakat Bangka dengan panggilan Pastor Boen adalah Pastor Projo (pribumi) pertama putera pulau Bangka di Keuskupan Pangkalpinang dan juga Pastor Projo pertama Indonesia (nama pastor Boen kemudian diabadikan menjadi nama Balai Pertemuan ParokiPangkalpinang dengan nama Balai Mario Jhon Boen). Pastor Boen ditasbihkan sebagai Imam pada tanggal 25 April 1935 Masehi atau sekitar delapan bulan setelah diberkatinya gereja baru yang diberi nama pelindung Santo Yoseph pada tanggal 5 Agustus 1934 Masehi. Bangunan gereja baru ini sekarang sudah dibongkar, letaknya di sekitaran pastoran sekarang. Diantara ribuan makam orang-orang Cina yang beragama Konghucu dan beragama Katolik, pada kompleks makam Sentosa juga terdapat dua makam yang beragama Islam yaitu makam Ny. Tjurianty Binti Kusumawidjaya lahir tanggal 27 September 1947 Masehi, wafat tanggal 9 Desember 1994 Masehi dan pada sisi Selatan agak ke Barat di sisi jalan terdapat makam Gunawan Bin Tanda, lahir tanggal 30 Maret 1978 Masehi, wafat tanggal 7 November 2008 Masehi.
Di samping kompleks makam Sentosa, di Pangkalpinang juga terdapat satu makam tua orang Cina keluarga Boen yaitu makam Boen Men Chiew yang terletak di Kampung Besi (Thiatfu), terletak sekitar 500 meter dari Jalan Soekarno-Hatta. Memang tidak jelas kapan dimulainya tradisi menguburkan mayat dengan menggunakan peti mati dari kayu (kerendak) pada masyarakat Cina di Pulau Bangka, sebab sebelumnya dalam tradisi mereka, mayat dibakar dan abunya disimpan di dalam tempayan keramik (banyak ditemukan tempayan tempat penyimpanan abu mayat ketika masyarakat membuka ladang dan tempayan tersebut sebagian masih tersimpan di Museum Nasional Jakarta). Bentuk makam yang ada di kompleks pemakaman Sentosa umumnya besar-besar dan megah, semakin tinggi status sosial yang dikubur, maka akan semakin besar bentuk makam dan semakin luas halamannya, seperti makam yang tergolong baru, makam Ho Thian Yong yang wafat pada tanggal 16 Desember 2002 Masehi, makam tampaknya paling besar dan mungkin juga mahal karena bahan atau material kuburan dan halamannya dibuat dari batu granit,
Kegiatan paling unik dan luar biasa yang terjadi di kompleks pemakaman Sentosa adalah pelaksanaan Ceng Beng atau Qing Ming (bersih dan terang) yang jatuh pada tiap tanggal5 April setiap tahunnya. Warga Tionghoa yang berasal dari Pulau Bangka, pulau Belitung maupun yang ada di perantauan di berbagai daerah dan luar negeri seperti Hongkong, Singapura, dan RRC berdatangan ke komleks pemakaman Sentosa untuk melaksanakan ritual Ceng Beng. Pada saat ritual, masyarakat Cina memanjatkan doa kepada leluhur yang meninggal agar mendapat tempat terbaik disisi Sang Pencipta. Ritual biasanya dimulai sejak pukul 02.30 WIB dini hari, para peziarah mulai berdatangan ke makam dengan membawa sesajian yang telah disiapkan dari rumah masing-masing diantaranya Sam-sang (tiga jenis daging), Sam kuo(tiga macam buah-buahan) dan Cai choi (makanan vegetarian), di makam leluhurnya masing-masing para peziarah melakukan ritual sembahyang, sebelumnya kubur diterangi oleh lilin, dibakar hio (garu), dan diletakan kim chin (uang palsu kertas) di atas tanah makam sembari memanjatkan doa agar arwah orang tua dan leluhur mereka tenang di alam baka dan meminta diberikan rezeki serta kedamaian (dari Buku Kampoeng Di Bangka Jilid I, halaman 138-142, Akhmad Elvian, Maret 2014).