OPINI  

Pembagian Harta Waris dalam Hukum Acara Peradilan Agama

Oleh : Aliyah Putri (4012211059) Mahasiswi Program Studi Hukum Universitas Bangka Belitung

 

Dalam lingkungan sosial, harta dan kekayaan seseorang sering menjadi perbincangan hangat, terutama ketika mereka meninggal. Perbincangan ini sering kali berkisar pada bagaimana warisan akan dibagi. Warisan merupakan segala harta milik seseorang yang telah meninggal dunia atau pewaris, yang kemudian akan diberikan kepada ahli warisnya, yaitu pihak-pihak yang memiliki hubungan darah atau dianggap berhak atas harta tersebut. Warisan dapat terdiri dari ragam aset, termasuk yang bergerak seperti tabungan, kendaraan, dan surat berharga, serta yang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Hukum Waris merupakan sistem peraturan yang menentukan identitas dan hak ahli waris serta jumlah warisan yang mereka terima dari harta yang ditinggalkan oleh almarhum pewaris.

Hukum Islam dalam masyarakat Indonesia  sangat berkaitan dengan perkembangan Peradilan Agama sejak pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pengadilan Agama memegang kekuasaan mutlak dalam menangani dan mengatasi sejumlah perkara perdata tertentu yang melibatkan individu beragama Islam. Wewenang tersebut diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang kemudian direvisi oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, termasuk penyelesaian perselisihan dalam perkawinan, harta warisan, pembagian wasiat, pemberian hibah, wakaf, shadaqah, dan permasalahan ekonomi syariah.

Pembagian harta warisan dalam proses peradilan agama di Indonesia mencerminkan kompleksitas hubungan antara norma-norma agama, hukum negara, dan dinamika sosial masyarakat. Pembagian warisan bertujuan untuk menghindari konflik antar keluarga saat membagi harta yang ditinggalkan. Hukum waris Islam yang diimplementasikan melalui Kompilasi Hukum Islam  mengatur pembagian warisan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dalam Islam, pembagian warisan diatur secara detail, dengan anak laki-laki menerima dua bagian dari yang diterima anak perempuan. Selain itu, istri atau suami, orang tua, dan kerabat lain juga memiliki hak-hak yang ditentukan secara rinci. Sistem ini berakar pada asumsi bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab finansial yang lebih besar dalam keluarga, seperti memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak, sehingga mereka menerima bagian warisan yang lebih besar. Jika tidak ada sengketa. Dalam situasi ini, pengadilan agama akan menetapkan ahli waris dan hak-hak mereka berdasarkan hukum warisan islam (faraidh).

Dalam kasus waris, tugas dan wewenang Pengadilan Agama dijelaskan dalam Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 mengenai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, meliputi:

  • 1 Menetapkan pihak-pihak yang berhak menjadi ahli waris.
  • 2 Menentukan aset dan harta peninggalan.
  • 3 Menentukan bagian untuk setiap ahli waris.
  • 4 Melakukan proses pembagian harta warisan
  • 5 Menetapkan sidang pengadilan atas permintaan individu tentang identitas ahli waris dan alokasi bagian mereka

. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebelumnya terdapat pernyataan yang menyatakan:  “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”. Namun, dengan adanya amandemen, kalimat tersebut dihapus. Jika warisan disusun sesuai dengan hukum Islam, proses penyelesaiannya akan dilakukan oleh Pengadilan Agama. Hal ini menyoroti keseragaman dalam wewenang Pengadilan Agama di seluruh wilayah Indonesia.yang sebelumnya bervariasi karena perbedaan dasar hukum. Selain itu, sesuai Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama juga berwenang menangani permintaan pembagian harta peninggalan di luar konflik antara pihak-pihak non-Muslim, yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *