OPINI  

Kasus “Yati dan Mat Rawi”: Pelajaran untuk Kehidupan Berkeluarga

Oleh: Aura Fariza Yulianti (4012211006) Mahasiswi Program Studi Hukum Universitas Bangka Belitung)

Perceraian adalah berakhirnya hubungan suami istri, yang mengakibatkan hukum perkawinan tidak lagi berlaku sehingga keduanya tidak lagi hidup bersama sebagai pasangan . Hukum perceraian mengatur proses perceraian dalam keluarga, menyediakan kerangka hukum yang adil dan terstruktur bagi pasangan yang ingin mengakhiri pernikahan mereka.

Berdasarkan penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa alasan-alasan yang dapat menjadi dasar perceraian antara lain:

  1. Salah satu pihak melakukan perzinahan atau menjadi pemabuk, pecandu narkoba, penjudi, dan sejenisnya yang sulit disembuhkan.
  2. Salah satu pihak meninggalkan pasangan selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal-hal di luar kemampuannya.
  3. Salah satu pihak dijatuhi hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau lebih setelah pernikahan berlangsung.
  4. Salah satu pihak mengalami cacat tubuh atau penyakit yang menyebabkan ketidakmampuan untuk menjalanka kewajibannya sebagai suami atau istri.
  5. Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus antara suami dan istri sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali dalam rumah tangga.

Kasus “Yati dan Mat Rawi” merupakan kasus yang sering terjadi di pengadilan agama, khususnya dalam konteks perceraian. Pengalaman H. Asmu’i Syarkowi sebagai Hakim Pengadilan Agama Semarang mengungkapkan bahwa setiap kasus perceraian memiliki ciri khasnya sendiri yang memerlukan kebijaksanaan dan pemahaman mendalam dari pihak pengadilan. Dalam kasus Yati dan Mat Rawi, mereka menghadapi tantangan besar dalam pernikahan mereka yang telah berlangsung hampir satu dekade. Meskipun pernikahan mereka telah memiliki tiga anak, Yati memutuskan untuk bercerai karena perilaku kasar suaminya, Mat Rawi. Ketika pernikahan menghadapi ancaman perceraian, mediator dan hakim memiliki peran yang sangat penting. Melalui mediasi dan proses pengadilan yang memberikan kesempatan untuk introspeksi dan perubahan, seringkali masih ada kesempatan untuk memperbaiki pernikahan, terutama demi kesejahteraan anak-anak.

Mat Rawi menunjukkan perubahan sikap selama proses persidangan. Keinginan yang tulus untuk memperbaiki diri dan kesadarannya akan dampak perceraian terhadap anak-anaknya menunjukkan bahwa kesempatan untuk introspeksi dan perubahan perilaku bisa terjadi ketika diberi waktu dan dukungan yang tepat. Hal ini memberikan harapan bahwa perubahan positif dalam hubungan suami istri masih mungkin terjadi, meskipun situasinya tampak sangat sulit.

Namun, hal ini menimbulkan dilema bagi hakim. Keputusan untuk memperpanjang durasi sidang demi memberikan kesempatan bagi pasangan untuk berdamai memiliki dampak terhadap nilai rapor sebuah institusi pengadilan. Cepatnya penyelesaian kasus seringkali dianggap sebagai indikator kinerja yang baik, namun hal ini dapat bertentangan dengan upaya untuk memberikan solusi  terhadap konflik rumah tangga. Oleh karena itu, harus menyeimbangkan antara tuntutan administrasi dan tujuan ideal dari sistem peradilan, yaitu memberikan keadilan yang sejati dan solusi yang terbaik bagi semua pihak yang terlibat.

Kasus Yati dan Mat Rawi menunjukkan bahwa terdakwa dan tersangka harus bijaksana dalam membuat keputusan agar bisa memberikan hasil yang lebih baik dan tidak merugikan pihak manapun.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *