Implikasi Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Bank Syariah : Studi Kasus Pembiayaan Macet di PT Bank Mega Syariah
Oleh :
Aulia Fariza Yulianti Saputri (4012211005)
(Mahasiswi Universitas Bangka Belitung)
Kehadiran bank berbasis syariah semakin mendominasi di sektor perbankan Indonesia karena adanya peluang yang semakin luas bagi industri perbankan. Revisi Undang-Undang perbankan dari Nomor 7 tahun 1992 ke Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 turut memperluas kesempatan bagi perkembangan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah. Hubungan yang dibangun antara Bank Syariah dan nasabah sangatlah dekat dan saling berkaitan. Jika suatu saat terjadi perselisihan antara Bank Syariah dan nasabahnya, maka hal ini akan diatur berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pasal 55 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan yang berada di lingkungan Peradilan Agama. Sementara itu, Pasal 55 ayat (2) menyatakan bahwa sengketa yang mungkin muncul dalam aktivitas perbankan syariah akan diselesaikan di Pengadilan Agama. Selain itu, ada pilihan alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa, seperti musyawarah, mediasi perbankan, arbitrase, atau menggunakan pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.
Ada perbedaan skema dalam pengaliran dana antara bank syariah dan bank konvensional, namun masalah yang timbul dalam penyaluran dana kepada masyarakat tetap memiliki kesamaan.Salah satu isu utama adalah adanya pembiayaan yang mengalami masalah, yang kemudian dianggap sebagai pembiayaan macet. Pembiayaan macet merujuk pada situasi di mana peminjam tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran sesuai dengan perjanjian pinjaman. Dalam perbankan syariah, pembiayaan macet terjadi ketika nasabah tidak dapat membayar kembali dana yang diberikan oleh bank syariah, baik itu dalam bentuk pembiayaan murabahah, mudharabah, atau jenis pembiayaan lainnya.
Dalam situasi di mana pembiayaan mengalami masalah pembayaran yang tertunda, bank syariah akan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah tersebut. Hal ini bisa melibatkan langkah-langkah hukum jika diperlukan, sebagai bagian dari upaya penyelesaian. Keputusan yang diambil oleh majelis hakim Pengadilan Agama Medan dalam penyelesaian kasus pembiayaan macet di PT. Mega Syariah Mandiri adalah membebaskan penggugat dari tanggung jawab untuk membayar margin keuntungan jual-beli murabahah sejumlah Rp. 197.099.567., margin tersebut berasal dari transaksi jual beli barang yang tidak sah menurut prinsip syariah. Namun, penggugat tetap harus melunasi utang asal sebesar Rp. 365.000.000 kepada tergugat.
Penyelesaian tahap ini mengikuti prinsip-prinsip syariah yang terdapat dalam aturan hukum perbankan yang didasarkan pada Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Meskipun Pengadilan Agama memiliki otoritas sepenuhnya dalam menangani masalah kredit macet di bank syariah, namun kondisinya masih ambigu .Setelah diberlakukannya Undang-Undang Perbankan Syariah yang memperbolehkan Pengadilan Umum menangani perselisihan perbankan syariah sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) undang-undang tersebut, kewenangan Pengadilan Agama dalam hal tersebut mengalami penurunan.