PANGKALPINANG – Dugaan praktik pungutan liar di kawasan lokalisasi Parit Enam, Kelurahan Bacang, Bukit Intan, kembali mencuat.
Dan kali ini, namanya bukan pemain baru. Kepala Satpol PP Kota Pangkalpinang ikut terseret dalam pusaran isu koordinasi bulanan yang diduga mengalir dari aktivitas prostitusi di lokasi tersebut.
Tim investigasi yang turun langsung ke lapangan menemukan aktivitas lokalisasi berjalan terang-terangan. Puluhan perempuan berpakaian minim berderet di depan rumah, menawarkan jasa kepada setiap kendaraan yang melintas. Sedikitnya lebih dari 10 rumah terindikasi dijadikan “lapak” PSK.
Namun, sorotan utama justru bukan pada aktivitasnya – melainkan dugaan adanya setoran berjenjang yang disebut-sebut terorganisir.
Seorang narasumber yang identitasnya dirahasiakan demi keamanan, membeberkan skema pungutan yang menurutnya sudah berjalan rutin, mencakup:
– Setoran bulanan Rp4,5 juta diduga dialokasikan untuk “koordinasi”
– Uang harian Rp20 ribu – Rp60 ribu
– Iuran mucikari Rp900 ribu per bulan
– Uang keamanan per PSK Rp60 ribu/orang
– Pungutan PSK baru Rp150 ribu/orang
– Tambahan “rokok mingguan” satu bungkus per kafe untuk oknum aparat
***Janji Penertiban vs Realita di Parit Enam***
Ironisnya, Satpol PP pernah berada di panggung yang sama dengan nada berbeda. Pada 2020, dalam rapat di DPRD Pangkalpinang, Kasatpol PP saat itu sempat lantang berjanji:
“Jika peringatan tidak diindahkan, kami segel lokasinya, baik Teluk Bayur maupun Parit Enam.” seperti yang dilansir oleh media https://www.indometro.id/2020/11/lokalisasi-prostitusi-teluk-bayur-dan.html?m=1
Fakta hari ini? Lokalisasi masih berdiri, makin hidup, dan kini dibayangi rumor “koordinasi” yang justru menyeret lembaga penegaknya sendiri.
Padahal, Satpol PP memegang mandat jelas lewat:
– UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
– PP No. 16/2018 tentang Satpol PP
untuk menegakkan perda, menjaga ketertiban, dan menindak praktik yang meresahkan.
Alih-alih jadi pagar, kini malah ditanya: “Jangan-jangan lagi bantu jagain pagar?”














